PMII JEPARA BERSHOLAWAT BERSAMA MASYARAKAT 16/1/2014
Oleh: Abdul Wahab Saleem, S.Sos.i MSI
Sudah menjadi tradisi yang mengakar, khususnya bagi warga nahdliyyin, bahwa setiap tiba tanggal 12 Rabi’ul Awwal atau sekitarnya selalu diperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Mulai malam tanggal pertama telah terdengar hingar-bingar merdu lantunan shalawat di setiap masjid, mushalla, pesantren, majlis ta’lim dan lainnya. Semua aktivitas tersebut tidak lain adalah sebagai wujud kecintaan umat terhadap Nabi mereka yang paling agung Muhammad saw. Akan tetapi, dengan peringatan maulid yang begitu meriah, juga seharusnya diimbangi dengan aksi-aksi real yang merepresentasikan ajaran dan nilai yang telah disabda-lakukan oleh Rasulullah. Sehingga peringatan maulid tidak hanya “membahana” dalam tataran “ceremonial”, kan tetapi juga terlihat dalam prilaku umat sehari-hari yang mencerminkan prilaku Nabi sebagai uswah hasanah pembawa ajaran yang rah}matan lil-‘a>lami>n.
Nabi Muhammad saw merupakan sosok makhluk Tuhan paling sempurna baik secara fisik maupun budi pekerti (akmalanna>si khalqan wa khuluqan), tentu yang dapat kita contoh adalah akhlaq (khuluq) beliau bukan fisiknya (khalq), karena keberadaan bentuk fisik manusia merupakan kodrat Allah SWT (huwa-lladzi> yus}awwirukum fil-arh}a>mi kaifa yasya>’), sehingga kita tidak dapat memaksakan diri untuk meniru fisik Rasul yang sempurna itu, dan karena ini bukan merupakan perintah syara’, maka “model” fisik tidaklah menjadi penilaian di hadapan Allah SWT. Hal ini perlu ditegaskan ditengah-tengah “bernafsunya” sebagian masyarakat yang mengatakan paling meniru Nabi, tetapi hanya meniru sisi fisiknya semata, tetapi perilaku yang ditampilkan berbalik arah dengan ajaran dan nilai yang selama ini diajarkan oleh Nabi itu sendiri. Mereka berjubah, berjenggot, bersorban, dan terkadang juga bertongkat, tetapi mereka suka menghujat, berkata-kata kasar, melempar, bahkan mengkafirkan siapa saja yang tidak seide atau sealiran dengan mereka. Penampilan fisik lebih -dianggap- memiliki nilai disbanding cerminan prilaku luhur.
Kesempurnaan Nabi Muhammad saw. Terlihat jelas dalam aksi-aksi ritual maupun sosial yang beliau tauladankan, sehingga tidak heran apabila para pakar dan peneliti baik dari kalangan muslim (insider) maupun kalangan non-muslim (outsider) menempatkan beliau dalam tingkat dan derajat teratas, sekaligus mebuktikan bahwa Muhammad merupakan manusia teragung yang pernah dikenal dalam sejarah peradaban manusia dan kemanusiaan. Sebagai contoh, Thomas Carlyle dalam bukunya “On Heroes, Hero, Worship and the Heroes in History”, membuktikan bahwa Muhammad adalah manusia paling “pahlawan”, kemudian dari tolok ukur keberanian moral, Muhammad merupakan manusia yang paling bermoral dan paling memiliki keberanian moral, hal ini diungkapkan oleh Marcuss Dodds dalam “Muhammad, Budha, and Christ”, selanjutnya berdasarkan penelusuran Nazme Luke dalam “Muhammad, al-Rasul wa al-Risalah” terungkap bahwa Muhammad merupakan sosok yang paling jitu metodenya dalam pembuktian ajaran, sampai dalam hal pengaruh sebagaimana yang ditulis oleh Micheal H. Hart dalam “the 100 a Ranking of the Most Influential Person in History”, bahwa Muhammad merupakan manusia paling berpengaruh dalam sejarah peradaban. Dan masih banyak lagi contoh-contoh “keagungan” yang terjajar dalam berbagai literature, yang pada kesimpulannya bahwa, Muhammad sangat dibutuhkan oleh kaumnya karena berbagai kesempurnaan yang beliau miliki, beliau dianggap paling cakap dalam memimpin “model” masyarakat yang seperti apapun, terutama “model Arab” yang “nakal” kala itu. Kemudian, beliau juga memiliki wibawa terutama dimensi Ilahiah yang luar biasa dan tiada banding jika diukur dengan standar manusia lain.
Sebagaimana pula “sunnatullah” yang telah diterapkan terhadap Nabi-nabi terdahulu, Nabi Muhammad juga diutus dalam kondisi masyarakat yang sedang chaos, ke-chaos-an ini terjadi di berbagai dimensi kehidupan. Dalam hal ekonomi, saat itu monopoli ekonomi, kapitalisme, dan riba menjadi prilaku utama kehidupan perekonomian, kemudian dalam konteks social, terjadi marginalisasi, rasial (fanatisme firqah) juga menjangkiti hampir seluruh masyarakat, dalam bidang politik, pemerintahan yang tiranik, otoriter, dan diktator, menjadi potret tata-kelola pemerintahan, dalam bidang hukum, makelar kasus, diskriminasi, dan pelanggaran hukum yang lain menjadi tontonan sehari-hari, serta dalam konteks budaya, sudah jelas bahwa mereka adalah kaum “jahiliyyah”.
Apabila membincangkan tentang “jahiliyyah”, maka kita akan dapat mengambil benang merah, bahwa “jahiliyyah” bukanlah merupakan kondisi pada zaman sebelum Nabi lahir saja, akan tetapi “jahiliyyah“ lebih merupakan karakter yang boleh jadi hari ini –yang katanya modern- masih terlihat potretnya. Setidaknya terdapat empat karakter “jahiliyyah” yang saat ini masih dapat kita deteksi, pertama: tidak adanya penghargaan terhadap perempuan, sehingga apabila saat ini masih terdapat kelompok atau individu yang masih mendiskriminasi atau mensubordinasi perempuan maka berarti pula masih melekat pada mereka karakter “jahiliyyah”. Kedua: fanatisme firqah (rasisme), ketiga: apabila terjadi permasalahan mereka tidak mencari akar masalah untuk diselesaikan, akan tetapi saling menepuk dada merasa paling berhak dan paling sanggup untuk memecahkan masalah tersebut, dan keempat: terjadi “penjajahan” besar-besaran terhadap kemanusiaan, yang kaya menindas yang miskin dan yang kuat menindas yang lemah.
Dalam kondisi semacam ini Nabi diutus dengan membawa “risalah” yang rah}matan lil-‘a>lami>n, yang menginspirasi penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan, kaum ibu menjadi lebih tinggi derajatnya tiga kali lipat dibandingkan kaum ayah yang mana saat itu budaya patriarkhi masih dominan, dan lain sebagainya. Fanatisme firqah diantisipasi dengan konsep “kesamaan” dan “persamaan” setiap makhluk Allah dihadapan-Nya dan yang membedakan kualitas masing-masing adalah ketaqwaan, bukan berasal dari kelompok dan keturunan siapa. Kemudian “risalah” Nabi juga menginspirasi masalah demokratisasi dan permusyawaratan sebagai upaya untuk mengantisipasi perpecahan dan perbedaan pendapat yang tidak terkontrol serta dominasi dan manipulasi kebijakan pihak-pihak yang memiliki interest dan ambisi pribadi maupun kelompok. Dan juga, Nabi hadir dengan risalah yang menginspirasi terhadap “kasih sayang” dan “berbagi” yang sangat elok, yang kaya harus berbagi dengan yang miskin, sehingga dianggap tidak sempurna iman seseorang apabila dirinya kenyang sementara tetangganya lapar, yang kuat tidak boleh menindas yang lemah, sehingga dianggap tidak sempurna iman seseorang sampai ia “sayang” kepada yang lain sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri. Dan tentunya masih terlalu banyak inspirasi lain yang disabda-lakukan oleh Nabi sebagai upaya mengeluarkan manusia dari “kegelapan” menuju “cahaya terang-benderang” (litukhrija an-na>sa min az\-z\uluma>ti ila an-nu>r) yang seharusnya kita internalisasi dan praktekkan dalam setiap aksi kita sebagai umatnya.
Apabila kita sejenak ber-“muh}a>sabah”, bahwa saat ini kondisi kechaosan (jahiliyyah modern) terlihat dengan jelas di depan mata kita, dan sudah tidak mungkin Tuhan mengutus Nabi baru, karena Nabi Muhammad merupakan Nabi terakhir yang diutus. Tetapi harapan untuk memperbaiki semuanya tentu masih ada, yaitu melalui para pewaris Nabi (ulama). Setidaknya masih terlampau banyak “z\uluma>t” dengan berbagai bentuk dan modelnya yang harus kita cerahkan, “z\uluma>t-z\uluma>t” tersebut antara lain berupa: pertama, “d}a’f al-‘ilmi” (krisis keilmuan; dalam arti bahwa keilmuan bukan lagi diorientasikan untuk mencapai fi> al-dunya> h}asanah wa fi> al-a>khirati h}asanah, akan tetapi keilmuan hanya diorientasikan sebagai ajang pamer intelektualitas yang hampa makna). Kedua, “d}u’f al-‘amal” (krisis aksi; dalam arti bahwa kehidupan sehari-hari tidak lagi mencerminkan sebuah kehidupan yang dapat memberi keamanan dan kenyamanan bagi sesama, keilmuan dan keislaman tidak lagi diamalkan untuk kemaslahatan, akan tetapi hanya berhenti pada tataran ajaran-konseptual, miskin implementasi-aktual). Ketiga, “d}u’f al-iqtis}a>d” (krisis ekonomi; dalam arti bahwa aktifitas perekonomian tidak lagi berpihak pada mereka yang selama ini lemah dan tertindas [d}u’afa>’-mustad}’afi>n], akan tetapi ekonomi selalu menjadi dominasi tanpa batas para kaum kapitalis). Keempat, “d}u’f al-akhla>q” (krisis moral atau pakerti; dalam arti bahwa ukuran kesalehan hanya sebatas simbol-simbol tanpa makna, dan kesalehan sosial tidak lagi dominan, kesalehan hanya diukur melalui upaya menuhankan Tuhan, meski tanpa memanusiakan manusia). Kelima, “d}a’f al-jiha>d” (krisis semangat juang; dalam arti bahwa jihad tidak lagi dimaknai sebagai perjuangan untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas dari segala jenis keterpurukan, penindasan dan diskriminasi, akan tetapi jihad hanya dimaknai sebagai “perang (sok) suci” yang mengatasnamakan agama, yang justru menciderai kesucian ajaran agama itu sendiri), dan keenam “d}a’f al-tamassuk al-ijtima>’i>” (krisis kesetiakawanan sosial; dalam arti tercerabutnya jiwa persatuan dan kesatuan [al-ittih}a>d], kasih sayang [al-marh}amah], persaudaraan [al-ukhuwwah], toleransi [al-tasa>muh}] dan tolong menolong antar sesama [al-ta’a>wun]).
Tidak hanya itu, berbagai macam penjajahan juga masih “menindas” kita, baik penjajahan ideology, ekonomi, paradigma, dan yang lain, yang terkadang kita yang terjajah justru secara tidak sadar turut “meng-amini” dan larut dalam budaya “kolonial” tersebut, sebut saja tentang tren 4f (free, fun, food, and fashion), yang mana kita terkadang kehilangan jati diri dari serangan virus-virus tersebut. Sehingga melalui momentum Maulid Nabi ini, kita berikhtiyar secara maksimal untuk dapat membuang jauh karakter-karakter “jahiliyyah” yang mungkin masih menempel pada diri dan pribadi kita, kemudian kita isi dengan nilai-nilai dan ajaran yang telah disabda-lakukan oleh Nabi terutama cerminan akhla>qul kari>mah yang menjadi poros keberhasilan perjuangan. Walla>hu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar