RUU Pilkada dan Bahaya Timokrasi
NAVIGASI dari arah perjalanan (trajectory) demokratisasi di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1999, menunjukkan pasang surut secara bergantian. Ranah politik menjadi terbuka dan pemilu berlangsung dengan lebih bebas, kompetitif dan relatif aman. Hanya saja praktek kecurangan, manipulasi, dan intimidasi kerap terjadi di beberapa tempat dan bermetamorfosis menyesuaikan dengan situasi dan sistem pemilu (Djani dan Vermonte, 2013).
Selama 16 tahun pasca Soeharto, pemilu telah menjelma menjadi ajang kontestasi yang ketat, sengit, dan memakan tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Kekurangan dan penyimpangan pada pelaksanaan pemilu langsung, baik legislatif maupun eksekutif nasional dan daerah, berlangsung semakin rumit dan masif. Sistem pemilu menjadi fokus perhatian yang kerap dibongkar pasang; salah satunya, adalah pemilihan kepala daerah yang dipandang masih belum ideal. Pemikiran untuk mengevaluasi sistem pemilu langsung untuk Kepala Daerah, telah menjadi diskursus beberapa tahun terakhir. Hanya saja, eskalasinya memuncak pada kuartal ketiga tahun 2014, pasca dilangsungkannya pemilihan Presiden. Perdebatan memuncak menjelang penetapan RUU Pilkada dipenghujung masa bakti DPR periode 2009-2014. Blok mayoritas di DPR (dan juga pemerintah), mengusung gagasan pemilihan Walikota dan Bupati dikembalikan ke tangan DPRD. Sontak penolakan datang dari partai-partai yang berkoalisi mengusung Jokowi-JK pada pilpres lalu dan juga organisasi non pemerintah.
Beragam alasan dikemukakan oleh kedua kubu. Inti perdebatan pada efek demokratisasi dari pemiihan langsung jika dibandingkan mekanisme tidak lagsung, terpasungnya hak politik warga, efisiensi biaya pemilukada, potensi konflik pasca pemungutan dan perhitungan suara, dan banyaknya kepala daerah yang terpilih secara langsung ternyata terlibat dalam skandal korupsi. Di tengah meruncingnya perdebatan ‘untung-rugi’nya pemilihan langsung dan tidak langsung, ada usulan ‘jalan tengah’ seperti yang diutarakan oleh Miko Kamal dengan ‘model Jakarta’nya.[1]
Dalam pandangan penulis, sistem pemilu apapun mempunyai aspek positif dan negatif. Sistem perwakilan (tidak langsung) di Eropa Barat, terbukti berfungsi baik dan mendatangkan kesejahteraan sosial. Sistem langsung dalam pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Brazil, Uruguay, Venezuela pun berfungsi tak kalah menyakinkan jika disandingkan dengan praktek di Eropa Barat. Di Indonesia sendiri, pemilihan tidak langsung dan langsung memiliki segudang kelemahan, namun juga menghasilkan ‘champion’ walau harus diakui mereka ini minoritas dan anomali.
Pendalaman Demokrasi Oligarki
Krisis moneter tahun 1998 membawa dampak signifikan terhadap para konglomerat dan penguasa (birokrasi kapitalis/kabir), dimana penguasaan atau dominasi ekonomi mereka (selanjutnya penulis menyebutnya sebagai oligarki[2]) terganggu akibat perubahan struktural sosio-ekonomi dan politik. Akibatnya, para oligarki harus mengonsolidasikan aset ekonomi dan menyesuaikan diri dengan sistem politik yang baru. Agar survive dari badai krismon, para oligarki harus mencari aliansi dengan penguasa politik baru (pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati) demi melindungi asset ekonomi dan kepentingan bisnis mereka (Chua, 2009; Robison dan Hadiz, 2004). Sebagian konglomerat mendapatkan ‘subsidi’ Negara dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sehingga asset dan bisnis mereka dapat diselamatkan.[3]
Ilustrasi di atas menggambarkan kemampuan para oligarki dalam mengamankan kepentingan bisnis dan asset ekonomi mereka dengan cara menyesuaikan diri dalam sistem politik pasca Soeharto. Walau awalnya para konglomerat ini merasa terancam dan gamang dengan rule of the game demokrasi, tetapi begitu mereka memahami logika dari ‘permainan’ politik, maka jalan yang ditempuh adalah beradaptasi dengan situasi tersebut (Chua, 2009). Bahkan, beberapa taipan kemudian terlibat aktif dalam politik bahkan menjadi pengurus partai politik[5] atau dinominasikan sebagai kandidat.
Kecenderungan demokrasi diambil alih oleh para oligarki telah dikemukakan oleh beberapa ilmuwan politik (Hadiz, 2010; Winters, 2011). Hal ini, salah satunya, diakibatkan, menurut Olle Tornquist (2006), bahwa aktor pro-demokrasi Indonesia adalah demokrat mengambang karena tidak memiliki pijakan fondasi yang kuat meliputi agenda dan isu, basis gerakan dan sekutu politik. Kristian Stokke and Olle Tornquist mengatakan “those with power tend to dominant and manipulate democratic institutions while those who are marginalized have insufficient power to use” (Stokke and Tornquist, 2013). Secara menyakinkan Jeffrey Winters mengatakan “extreme wealth has a profound influence on the capacity of oligarchs to defend and advance their core interests…. significantly more versatile and potent than formal or procedural power resources such as equal voting rights” (Winters 2011: xiii&18). Singkatnya, dengan kekuatan finansialnya oligarki mampu menguasai ranah dan posisi politik formal.
Tak dapat dipungkiri demokrasi Indonesia telah bertransformasi menjadi oligarchy democracy. Para oligarki menggunakan politik elektoral untuk mendapatkan akses atas sumberdaya ekonomi dan proteksi politik. Keterlibatan para oligarki dalam pemilu merupakan manifestasi dari ‘direct rule’ dengan menguasai jabatan publik atau ‘indirect rule’ dimana oligarki menjalin hubungan simbiosis dengan aparatus negara atau mempengaruhi mereka (Winters, 2011: 22-3). Akan tetapi, di tengah pesimisme akan masa depan demokratisasi, pemilu 2014 dan juga beberapa pemilihan kepala daerah memberi sinyal akan keterbatasan dominasi oligarki di ranah politik.
Perubahan politik – pemilu multipartai dan desentralisasi – membuka peluang kontestasi elektoral secara luas. Berbeda dengan zaman Orde Baru (Orba) dimana para oligarki cukup menjaga loyalitas kepada rezim berkuasa, pada kondisi pemilu yang kompetitif mengubah karakter dan strategi oligarki dalam menjalin relasi dengan kekuasaan. Agar tetap ‘berkuasa’, baik secara direct maupun indirect, aturan main pemilu berlaku umum: kontestan wajib mengumpulkan suara pemilih sebanyak mungkin. Hal ini membuat oligarki tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan klientelistik, intimidasi atau bahkan jual-beli suara semata, tetapi harus menjalin ‘kerjasama’ dengan kelompok warga atau masyarakat kelas bawah dan gerakan sosial (Manor, 2013; Tornquist, 2013).
Tak ayal lagi beberapa oligarki mengusung agenda atau isu populis demi meraih dukungan konstituen. Pengalaman di Thailand menunjukkan, kondisi dimana kekuatan politik oligarki relatif sama kuat sehingga memaksa kelompok Thaksin mengusung program populis dan berkolaborasi dengan kelas sosial tertentu (Hewison and Kitilangrap, 2009). Begitu pun di India, dimana elit dominan harus mengadopsi isu kampanye populis demi mendapatkan dukungan pemilih kelas bawah (Manor, 2013). Ini menandakan, para oligarki, walaupun memiliki sumberdaya finansial, diharuskan merancang program kampanye inovatif, termasuk mengusung kebijakan populis agar memperbesar dukungan politik dan perolehan suara (Holmes 1993: 8&46). Agenda populisme ini membuka ruang negosiasi antara oligarki dengan masyarakat kelas bawah dan civil society serta mengusung agenda dan kebijakan perubahan radikal.
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Kontestasi pemilu dan pemilukada membuat elit politik mulai melirik agenda populis. Pemaparan dari Pratikno dan Lay (2013), dengan mengambil studi kasus kota Solo, jelas memperlihatkan kemungkinan terjadinya penguatan dan pendalaman demokrasi ke arah subtansial dan partisipatif. Pada pemilu Presiden 2014, kondisi ini berlanjut dimana kedua kubu menjalin ‘kerjasama’ dengan kelompok masyarakat dan gerakan sosial demi mendapatkan dukungan suara. Prabowo membuka dialog dengan kelompok tani, bahkan ia mengambil alih kepemimpinan HKTI. Prabowo juga mendekati serikat buruh yang berbasis di Bekasi (FSPMI). Serikat buruh metal ini secara terbuka mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo-Hatta saat peringatan Hari Buruh (May day) di Gelora Bung Karno, yang dihadiri puluhan ribu anggota serikat buruh (Tjandra, 2014). Pasangan Jokowi-JK pun menjalin hubungan dengan kelompok civil society dan ormas progresif yang membentuk organisasi-organisasi relawan, seperti di antaranya, Bara-JP, Projo dan Seknas Jokowi. Alhasil, kedua kubu mengusung serangkaian agenda populis seperti reforma agrarian (land reform), subsidi untuk petani dan nelayan, menaikkan kesejahteraan dan kepastian ketenagakerjaan, pembukaan sawah dan pembangunan infrastuktur irigasi, program pemberdayaan desa, hingga pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
ruu2Foto diambil dari koransuararakyat.org
Realita ini menyadarkan beberapa oligarki bahwa politik elektoral secara langsung membuat kekuatan finansial mereka tidak menjamin kemenangan pemilu. Para oligarki harus membuka ruang negosiasi dan mengadopsi agenda-agenda populis yang mungkin dapat bertolak belakang atau minimal meredam kepentingan ekonomi mereka. Tambahan lagi, seorang kandidat yang diusung oleh para oligarki dapat berbalik badan dan menantang kelompok elit ini karena memperoleh legitimasi dukungan dari pemilih. Kasus Jokowi, Basuki TP, Risma dan kepala daerah lain yang dianggap progresif adalah contoh konkrit hadirnya pemimpin yang memperoleh legitimasi politik dari public dibandingkan merasa berhutang kepada para oligarki.
Tidak mengherankan jika kemudian para oligarki ingin mengubah kembali pemilihan kepala daerah di tangan DPRD. Dengan mekanisme tidak langsung, para oligarki dapat ‘menyaring’ calon yang loyal ataupun menunjuk salah seorang dari klan oligarki. Lebih jauh, pemilihan melalui DPRD membuat kepala daerah terpilih tidak memiliki legitimasi dukungan suara pemilih melainkan hutang budi kepada partai politik.
Karenanya, benturan kepentingan antara pendukung pemilu ‘langsung dan tidak langsung’ sebaiknya dipahami, tidak dari aspek mekanistik sistem pemilu, implikasinya terhadap demokratisasi atau ekses negatif yang ditimbulkan, tetapi dalam konteks pergulatan (struggle) untuk mendominasi ranah publik dan sumberdaya ekonomi. Meminjam kalimat Gramsci bahwa pergulatan ini adalah manifestasi “a dialectical understanding of the temporal pattern of contested hegemony” (Gramsci 1971: 178). Perdebatan tentang pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD, tidak bisa hanya dipandang akibat dari gonjang ganjing pemilu Presiden 2014, tetapi merupakan kelanjutan proses yang membentuk dan terbentuk (shape and reshape) akibat perubahan struktural sebelumnya. Episode 2014, sejatinya merupakan kelanjutan dari reposisi pasca krisis moneter (krismon) 1998. Upaya untuk kembali mendominasi ranah politik dan ekonomi oleh oligarki, dikemas dalam gagasan mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Tujuannya agar proses politik dapat dikontrol oleh oligarki (seperti pada masa Orde Baru). Model pemerintahan di tangan segelintir orang kaya atau oligarki disebut sebagai Timokrasi.
Bahaya Timocracy
Jika rencana pemilihan kepala daerah (walikota dan bupati) kembali di tangan DPRD, maka kita menghadapi masa surut demokratisasi. Pencapaian mendorong agenda-agenda publik diawal reformasi, menurut Arief Budiman (2001), lebih dikarenakan melemahnya negara, juga para oligarki, dikarenakan mereka disibukkan dengan mengamankan asset dan jaringan bisnis. Kesibukan para oligarki menata ulang jaringan politik dan bisnis membuka ruang bagi masyarakat sipil dalam menekan dan mendorong perubahan. Akan tetapi, sewaktu rekonsolidasi kekuasaan dan dominasi atas (lembaga) negara kembali dalam kontrol oligarki, tekanan dari publik, terutama dari CSOs, menjadi kurang dampaknya. Rampungnya konsolidasi kelompok politik dan bisnis berimplikasi pada terbatasnya ruang politik (political space) bagi masyarakat sipil.
Jika pemilihan kepala daerah melalui lembaga perwakilan daerah disahkan, maka konsolidasi kekuasaan para oligarki akan semakin menguat dan mengakar. Mereka akan leluasa membangun dan memperluas ‘kerajaannya’ melalui penguasaan ranah politik (jabatan publik), sehingga menjamin akses dan alokasi sumberdaya ekonomi atau sekedar mencari rente dari sumberdaya publik. Bergemingnya pengaruh dan dominasi oligarki pada ranah politik dan sosio-ekonomi, mengindikasikan surut ataupun kemunduran dalam penataan struktur politik dan ekonomi secara lebih adil dan merata.
Hal ini juga menunjukkan bahwa agenda perubaha yang diusung civil society, tidak membidik dan menyentuh fondasi oligarki (Robison dan Hadiz, 2004; Winters, 2011). Perubahan yang terjadi tidak melumpuhkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi mereka sehingga kedua hal tersebut tetap dalam genggaman mereka. Kekuasaan menjadi predatoris karena tetap saja menjarah sumberdaya (ekonomi), memanipulasi dana publik untuk kepentingan sempit. Sudah saatnya fokus dari agenda perubahan yang diusung kelompok civil society ditujukan untuk merombak pilar para oligarki: partai politik dan monopoli sumberdaya ekonomi!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar