Sabtu, 16 April 2016

Gerakan Shalat dan Ilmu Kesehatan

 Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 238 yang artinya “Peliharalah segala shalat(mu), dan peliharalah shalat wustha, berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.”

Hadist Nabi Muhammad SAW: Wa’lamu anna khaira a’malikum ashalatu (Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kamu adalah shalat. (HR. Al-Hakim).

Anjuran shalat itu bukan hanya karena ta’abbudi (menyembah Allah). Ternyata shalat memiliki hikmah pada kesehatan manusia. Menurut ilmu kesehataan Cina dalam tubuh manusia itu ada dua komponen yaitu tubuh Chi (bentuk energi, tenaga, kekuatan) dan tubuh Yang (fisik). Dua komponen menyatu dalam tubuh manusia, bila tubuh Chi tidak berfungsi maka tubuh  Yang (fisik) manusia sudah hanya tinggal jasad atau yang dikenal meninggal dunia.

Dalam ilmu kesehatan Cina, Wudhu ternyata mengandung Hidroterapi. Air yang kita gunakan untuk wudhu memiliki fungsi tersendiri. Tampaknya, air punya daya khusus untuk menghilangkan stress dan menyegarkan kembali tubuh kita.

Air memberi efek pada kulit dan otot. Air menenangkan paru-paru, jantung, perut, dan sistem endokrin dengan jalan menstimulasi saraf pada spinal corda. Hidroterapi itu dari saat mencuci tangan sampai pergelangan, berkumur, membersihkan hidung, membasuh muka, lengan bawah, menyeka rambut dan membersihkan telinga, serta membasuh kaki.

Shalat lima waktu juga mempunyai hikmah tersendiri terhadap kesehatan. Shalat subuh mengandung terapi paru-paru, Shalat dhuhur; terapi jantung dan usus kecil, Shalat Ashar; terapi kandung kemih, Shalat maghrib; terapi ginjal, dan Shalat isya’ terapi pericardium dan Tripe Burner.

Dan seluruh gerakan Shalat mulai dari berdiri tegak menghadap kiblat, takbiratul ihram, Ruku’, I’tidal, Sujud, Iftirasy, Bangkit berdiri, Tahayyat awal dan akhir, serta Salam. Semua memiliki kandungan gerakan yang berhubungan dengan aliran darah,  Chi (energi) dan Yang (fisik) yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu Shalatlah sebelum kita dishalati.

KH Maimoen Zubeir, Samudera Ilmu yang Rendah Hati


 KH. Maimoen Zubeir

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.

Dalam forum seperti itu, diantara pondok pesantren yang amat disegani adalah Pondok Pesantren al-Anwar Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah KH. Maimoen Zubair.

Meski sudah sangat sepuh, alumnus Lirboyo dan Ma’had Syaikh Yasin al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da Shubuh dan Ashar, Mbah Moen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.

Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.

Beliau memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.

Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU, yang sowan minta fatwa politik, nasihat atau sekadar silaturahim.

Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa diantara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti al-Habib Abdullah Zaki bin Syaikh al-Kaff (Bandung), KH. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), KH. Hafidz (Mojokerto), KH. Hamzah Ibrahim, KH. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), KH. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), KH. M. Hasani Said (Giren, Tegal), al-Habib Shaleh bin Ali Alattas (Pangkah, Tegal) dan masih banyak lagi.

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928 (dalam hal ini masih terdapat perselisihan). Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi

peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu sharaf, nahwu, fiqih, manthiq, balaghah dan bermacam ilmu syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, beliau sudah hafal di luar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya al-Jurumiyyah, al-‘Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharatu at-Tauhid, Sullam al-Munauraq serta Rahabiyyah fi al-Faraidh. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i, semisal Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Pesaantren Lirboyo Kediri (MHM), di bawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi Dahlan.

Di Pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah al-Mukarramah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain as-Sayyid al-Habib Alwi bin Abbas al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Kutbi, Syaikh Yasin bin Isa al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih beliau menetap di Makkah al-Mukarramah. Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidhawi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Syaikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abal Fadhal, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya pondok pesantren yang berada di sisi kediaman beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jauharat at-Tauhid, Ba’dh al-‘Amali dan Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah adalah Syarh al-‘Imrithi. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren al-Anwar dan beberapa pesantren lainnya.

Keharuman nama dan kebesaran beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Aamiin.

(Diambil dari www.islammoderat.com)

Idealisme Pendiri Mahbub Djunaidi



Tepat pada hari ini, Kamis 1 Oktober 2015, adalah adalah haul ke-20 H. Mahbub Djunaidi. Banyak pelajaran dari anak Betawi kelahiran 1933 ini. Tapi idealismenya yang kokoh bagaikan batu karang, susah ditiru siapa pun.

Hari ini, kita bisa saksikan sendiri dengan mata dan kepala, banyak para politisi, seniman, wartawan, dan pemimpin di sebuah organisasi baik kemahasiswaan, organisasi massa (Ormas) ataupun Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) yang terbuai akan kekuasaan, dan malah ikut dalam menyumbangkan permasalahan yang sampai saat ini agak sulit untuk diberantas, yakni korupsi.

Jika saat ini para politisi, seniman, wartawan dan pemimpin organisasi sibuk untuk mendekatkan diri dalam pusaran kekuasaan. Mahbub yang juga pernah menjadi politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin organisasi besar justru tidak memanfaatkan untuk ambisi politiknya atau mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Saat ditawarkan kekayaan oleh Orde Baru, pria yang memiliki tradisi Nahdlatul Ulama (NU) itu justru menolak. Sampai akhirnya pendiri organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini akhirnya dipenjarakan di rutan Nirbaya oleh Suharto. Bersama dengan sahabat-sahabatnya Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain dengan alasan yang tak masuk akal yakni dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di depan forum mahasiswa.

Namun dalam sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara, Mahbub mengatakan “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008).

Hal di atas tentu tidak akan dilakukan oleh ketua DPR Setyo Novanto, dan wakilnya Fadli Zon yang menghadiri kampanye kandidat presiden Amerika Donald Trump, dan kunjungan  politik ketua majelis permusyawaratan rakyat (MPR) Zulkifli Hasan ke negeri tirai bambu. Sebab, idealisme mereka sudah pudar bahkan bisa dikatakan sudah hilang.

Oleh karena itu, wajar jika tokoh pers Jakob Oetama berani mengatakan bahwa  Mahbub Djunaidi adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Berbeda dengan para politisi saat ini.

Inilah yang saat ini sulit dicari, dimana kebanyakan orang jika sudah ada dalam pusaran kekuasaan akan memanfaatkan kedekatannya, bahkan sudah menjadi lumrah jika orang-orang yang dekat dengan kekuasaan ikut menimbun harta dengan cara yang tidak wajar (korupsi).

Idealisme yang kokoh, memang membuat pria kelahiran Jakarta 27 Juli 1933 ini menjadi orang yang sederhana: penampilan dan material. Tapi itu menjadi kekuatanya dalam mempertahankan prinsip.

Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada tahun 1967-1971 ia tetap mengkritik pemerintah dan mempertahankan prinsipnya melalui kata-kata yang disusunya dengan dibumbui rasa humor tentunya. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai “pendekar pena”.

Mahbub pernah menulis artikel, “Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini” (Kompas, 18 Maret 1981). Dalam tulisannya, pendekar pena tersebut, mengkritik para pemimpin bangsa dengan gaya penulisan yang satire dan juga dibumbui rasa humor.

Begini tulisannya: Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia.”

Mungkin mantan ketua umum PMII tiga periode 1960-1967 itu ingin berpesan kepada publik agar kita jangan sampai seperti monyet dalam memilih pemimpin. Kata Mahbub, “Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan,”.

Tokoh multi talenta ini, kini sudah meninggalkan kita 20 tahun lamanya, namun bukti idealismenya sampai saat ini masih dapat kita baca dan pelajari. Karya-karyanya dan jasa-jasanya kini telah tertoreh dalam tinta emas dunia pergerakan dan jurnalis, sehingga kita dapat mengikuti dan belajar dari sosok multi talenta, pemegang teguh prinsip, demokratis, moderat dan humoris seperti Mahbub Djunaidi.

Terorisme: Bukan Karena Agama

11 April 2016

 SALAH satu isu penting era globalisasi yang turut serta mewarnai dinamika kehidupan manusia adalah terorisme. Setiap tindakan teror yang dilakukan keompok tertentu, yang kemudian disebut teoris, selalu dikaitkan dengan agama tertentu pula. Umumnya, agama yang seringkali menjadi sasaran adalah Islam. Akibatnya, fenomena terorisme semakin membuat citra Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia semakin buruk. Sehingga wajar, apabila setiap peristiwa teror yang biasanya identik dengan ‘bom bunuh diri’ di ruang-ruang publik mengakibatkan ketegangan internal di kalangan umat islam.

Kenyataan ini mendorong beberapa tokoh terkemuka Muslim, berlomba-lomba menyatakan sikapnya bahwa Islam menolak segala bentuk tindakan teror sebab Islam tidak pernah mengajarkan perilaku seperti itu. Kalaupun terdapat perilaku teror yang memiliki identitas Muslim, teroris tersebut dianggap telah salah memahami ajaran Islam dan sesat dalam menafsirkan kitab suci. Setiap tindakan teror diarahkan pada kaum muslim juga akan dianggap sebagai upaya memecah belah kaum muslim dan melemahkan nilai tawar Islam di dunia. Islam sebagai agama solutif yang bersifat mutakhir akan dianggap gagal atau bahkan dianggap ‘biang’ dari perilaku teror. Apapun alasannya, fenomena terorisme yang seperti ini akan menguntungkan agama-agama lain.

Fenomena terorisme yang selalu dikaitkan dengan motif agama sebagai direpresentasikan dalam istilah ‘Jihad’, misalnya, seolah membenarkan tesis Samuel P. Hantington. Hantington dalam karyanya Clash of Civilization, mensinyalir bahwa perkembangan mutakhir sejarah umat manusia ditandai oleh pertarungan peradaban berlatar belakang agama. Tafsir setiap kelompok masyarakat terhadap agamanya akan menjadi motif utama perilaku umat manusia dalam realitas hubungan intenasional. Tesis Hantington tersebut, dengan demikian, tentu dapat dijadikan alasan pembenar atas setiap tindakan teror sebagai fenemona yang berlatar belang motif agama.

Persoalannya kemudian terletak pada tafsir kelompok penganut agama terhadap agamanya. Apabila terdapat kelompok agama tertentu yang menganggap dan meyakini hanya hasil tafsir meraka saja yang benar, maka sudah cukup bagi mereka untuk mengkafirkan kelompok lainnya meskipun bernaung pada agama yang sama. Sehingga, jika benar pula bahwa para teroris memang berasal dari kelompok aliran agama tertentu, maka tuduhan salah atau sesat terhadap perbuatan teror yang dilakukan pasti justru akan semakin memperkuat perbuatan teror tersebut. Sebab, hukum alam telah membuat niscaya logika pikir manusia bahwa nilai kebenaran selalu beriringan dengan kritik. Tidak ada segolongan manusia yang berhak menilai salah sebuah hasil tafsir kitab suci. Apalagi, atas nama agama, kita sama-sama yakin bahwa kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan.

Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya tesis yang menyatakan bahwa terorisme terjadi dan berkembang karena motif agama hanya merupakan pandangan yang bersifat permukaan. Agama memang selalu mewarnai, tetapi hanya dalam posisi sebagai alat legitimasi sah dan tidaknya sebuah tindakan. Atau paling tidak, jargon-jargon keagamaan dibutuhkan untuk memudahkan rekruitmen dan mobilisasi calon pelaku teror. Betapapun terkait dengan tafsir pada ajaran dan teks kitab suci, yang paling tahu pasti hanya pimpinan kelompok atau kelas elit dalam kelompok tersebut. Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang fenomena terorisme? Tentu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita lihat apa yang tersisa dari agama.



Agama dan Tradisi Kekerasan

Perkembangan agama apa pun di dunia, secara empiris, pasti terikat dengan kekerasan. Sejarah menunjukkan persoalan itu dengan sangat jelas. Penyebaran agama selalu disertai kekerasan, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap menolak kehadirannya. Penolakan ini, baik agama dianggap tidak perlu atau karena masyarakat tersebut telah menganut agama lain. Islam, Kristen, dan Yahudi, merupakan tiga agama utama dunia yang paling akrab dengan kekerasan. Meskipun para pemuka agama masing-masing menolak kekerasan sebagai bagian ajaran agama, bukti historis menunjukkan sebaliknya terutama saat agama mulai disebarakan. Bahkan, Islam dan Kristen pernah saling berhadap-hadapan dalam sebuah peperangan yang sangat dahsyat yang dikenal dengan Perang Salib. Adapun tradisi kekerasan Yahudi dapat dilihat dalam kasus pendirian Negara Israel dan perluasannya saat ini.

Potensi kekerasan yang menjadi anak kandung agama dapat ditelusuri dari beberapa variabel. Pertama, variabel ketuhanan. Masalah-masalah ketuhanan yang berkembang dalam tradisi keagamaan sampai saat ini masih bersifat misteri. Apa saja yang dilekatkan pada diri Tuhan seringkali menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Misalnya, tentang kehendak Tuhan. Agama-agama besar di dunia memiliki doktrin utama bahwa Tuhan akan selalu menghendaki yang baik-baik bagi manusia. Pertanyaannya kemudian, lalu dari mana datangnya kejahatan dan penderitaan? Sejenak akan terlintas dalam benak kita akan adanya aktor lain yang seimbang dengan Tuhan pencipta kejahatan dan penderitaan.

Pertanyaan senada juga bisa digunakan untuk membuat transparan status Tuhan yang disebut-sebut Maha Kuasa. Kalau Tuhan memang kuasa, mengapa kejahatan dan penderitaan masih berlangsung? Bukankah Tuhan sungguh kejam membiarkan makhluknya dalam kondisi seperti itu? Terhadap pertanyaan ini, lahirnya anggapan bahwa Tuhan tidak lagi Maha Kuasa tidak akan terelakkan. Lalu, apa yang tersisa dari atribut-atribut ketuhanan di atas? Paling tidak, bagi para pembela agama, untuk mempertahankan doktrin agamanya itu, mereka harus mengakui bahwa baik dan buruk, kebahagiaan dan penderitaan, memang datang dari Tuhan.

Apabila eksistensi Tuhan tidak tergantung pada anggapan makhluknya, khsusnya manusia, maka atribut “Tuhan Maha Berkehendak” tidak selalu dapat diartikan bahwa Tuhan selalu menghendaki yang baik dan kebahagiaan, tetapi mengizinkan kejahatan dan penderitaan terus berlangsung juga merupakan makna dari atribut tersebut. Begitu pula dengan penjelasan tentang “Tuhan itu Maha Kuasa”. Karena Tuhan Maha Kuasa, maka segalanya terserah Tuhan. Namun demikian, beberapa kalangan ahli retorik-konsepsional, biasanya menolak kejahatan dan penderitaan sebagai realitas kongkrit-aktual dalam kehidupan. Bagi mereka, apa yang disebut jahat dan derita hanyalah cara pandang saja. Kata mereka: “ yang disebut kejahatan itu adalah tidak adanya yang disebut kebaikan, yang disebut kebaikan itu adalah tidak adanya yang disebut kejahatan” seperti “yang disebut malam itu adalah tidak adanya yang disebut siang, yang disebut siang itu adalah tidak adanya yang disebut malam”.

Kedua, variabel kenabian. Otoritas tertinggi dalam sejarah agama aktual di dunia adalah kehadiran seorang nabi. Apa saja yang dikehendaki Tuhan bagi manusia, nabi merupakan juru tafsir tertinggi atas kehendak itu. Persoalannya kemudian adalah ketika era kenabian selesai. Sebagaimana masyarakat Muslim meyakini bahwa era kenabian telah berakhir pada diri Muhammad bin Abdullah, Nabi Muhammad SAW. Keyakinan seperti ini ternyata juga dikuatkan oleh Kitab Suci Al-Qur’an, yang merupakan literatur tertinggi doktrin keagamaan umat Islam. Konsekuensinya jelas, dalam rentang sejarah pasca berakhirnya era kenabian, segala tindakan orang, tidak peduli asal dan jenis kelompoknya, yang mengaku sebagai nabi pantas untuk dibunuh atau dihukum beserta pengikutnya.

Secara historis-filosofis, fenomena ‘mengaku nabi’ sangat potensial memang akan mewarnai sejarah agama seiring berkembangnya keyakinan dalam umat beragama bahwa salah satu tanda datangnya hari akhir (kiamat) adalah lahirnya atau datangnya juru selamat. Istilah “juru selamat” di sini merupakan reduksi konseptual dari “nabi”. Sebab, sejarah membuktikan bahwa kehadiran seorang nabi selalu bermaksud menyelamatkan manusia dari segala bentuk kebodohan, penindasan, kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya.

Kembali pada masalah datangnya juru selamat. Layaknya gerombolan semut yang melihat gula, keyakinan ini menciptakan daya tarik yang kuat bagi orang-orang tertentu untuk mengaku diri sebagai nabi. Selain popularitas pribadi yang sangat menjanjikan, sumber keuangan pun akan semakin mudah. Kenyataan itu tentunya tidak terlepas dari gejala putus asa yang mulai menggerogoti batin manusia atas penderitaan hidup sembari menunggu janji-janji agama akan datangnya Sang Juru Selamat.

Kristen dan Yahudi, di lain pihak, tidak memiliki doktrin yang tegas tentang akhir era kenabian. Umat Kristen dan Yahudi cenderung menganggap pemimpin utama agamanya setara dengan nabi. Masyarakat Kristen dan Yahudi, bahkan menolak eksistensi Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir atau penutup. Meskipun secara historis, sebagai sesama agama wahyu, Islam lahir lebih akhir dibandingkan keduanya. Sepertinya, baik Kristen dan Yahudi, dalam masalah kenabian masih dalam proses historis menuju akhir era kenabian. Namun demikian, sebagaimana dalam tradisi Islam, kenyataan ini tidak akan menghapus potensi kekerasan terhadap orang-orang yang mengaku nabi di luar lembaga tertinggi agama.

Ketiga, variabel otoritas tafsir atas Kitab Suci. Dalam tradisi masyarakat Muslim, siapa saja yang berhak menafsirkan maksud yang terkandung dalam kitab suci lebih bersifat lunak. Orang-orang yang teruji secara keilmuan tertentu, yang disepakati sebagai syarat menjadi ahli tafsir, berhak melakukan kegiatan tafsir atas kitab suci. Hasilnya pun dapat menjadi panduan Umat Islam dalam menajalani kehidupan sehari-hari. Empat Mazhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali) yang dikenal luas oleh Umat Islam adalah salah satu bukti nyata toleransi kegiatan tafsir atas kitab suci. Sejenak kenyataan ini cukup menggembirakan. Akan tetapi, ketika kita bertanya siapa yang berhak merumuskan syarat-syarat untuk menjadi ahli tafsir, persoalan mulai menghantui. Respon yang bisa diberikan, pastilah orang-orang tersebut memiliki jenis kekuasaan tertentu, atau paling tidak, dilindungi oleh jenis kekuasaan tertentu.

Tradisi Kristen dan Yahudi, di lain pihak, pemimpin agama memegang otoritas kebenaran mutlak akan tafsir atas kitab suci. Artinya, pemimpin agama dan lembaga tertinggi agama merupakan sumber doktrin agama yang mutlak. Kenyataan ini bukannya tanpa perlawanan. Kemunculan Sekte Protestan dalam Kristen merupakan upaya meruntuhkan hegemoni Paus dan Gereja. Atas nama agama, Paus dan Gereja, saat itu kemudian menganggap Kaum Protestan telah kafir dan kekerasan pun tidak dapat terelakkan. Sementara itu, perkembangan Yahudi juga tidak terlepas dari friksi internal, khsusunya dalam kasus pendirian Negara Israel. Ide pendirian Negara Israel sebagai negara bangsa Yahudi datang dari sekte zionis. Sedangkan, kaum ortodoks yang menginginkan penyebaran ajaran Yahudi bersifat kultural dan transnasional menolak pendirian negara.

Berdasarkan ketiga variabel tersebut, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa sejarah agama sangat dekat dengan tradisi kekerasan yang selalu bersifat potensial. Selain itu, latar belakang kondisi sosio-politik yang melatarbelakangi kelahiran agama-agama membuat sejarah agama juga sangat dekat dengan kekuasaan poitik. Bahkan, kekuasaan politik tertentu diperlukan untuk melegitimasi keberadaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, sejarah kekuasaan poltiik juga memerlukan agama sebagai instrumen legitimasi. Persinggungan agama dengan kekuasaan politik inilah yang menyebabkan tradisi kekerasan dalam sejarah agama sangat kuat.



Terorisme: Implikasi Basis Material

Teror-teror dengan jargon agama sampai dengan tindakan bom bunuh diri tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan agama itu sendiri yang sangat menghargai pengorbanan individual. Cerita-cerita yang tertera dalam literatur keagamaan seluruhnya menggambarkan keberanian dan pengorbanan individual melawan rezim-rezim ‘dzalim’. Bahkan, di antara mereka rela berpisah dengan keluarga dan orang-orang terdekat demi semua itu. Pengorbanan individual atas nama agama menjadi ukuran kesalehan seseorang terhadap Tuhan. Doktrin yang demikian, ternyata ditegaskan oleh suara Tuhan bahwa Tuhan sangat mengistimewakan ketakwaan seseorang, bukan jabatan dan harta. Derajat ketakwaan dapat dicapai oleh setiap orang karena memang menjadi urusan privat antara manusia dengan Tuhannya. Apalagi, surga dan neraka dalam literatur keagamaan merupakan imbalan individual bukan kolektif.

Tindakan perlawanan terhadap rezim memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap tindakan perlawanan tersebut memerlukan suatu kerangka ideologis, selain sebagai alat legitimasi tindakan juga diperlukan untuk memobilisasi massa supaya perlawanan yang dilakukan bertambah kuat. Di antara kerangka-kerangka ideologis yang ada, salah satu yang paling populer adalah ajaran-jaran agama. Tentu hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa masyarakat dunia adalah mayoritas penganut agama.

Terorisme, apa pun alasannya terkait dengan doktrin-doktrin tertentu ajaran agama. Tetapi, keberadaan agama di sini bukanlah sebagai alasan utama (basis fenomena). Agama diperlukan sebagai alat legitimasi atau alat pembenar tindakan. Apalagi perkembangan terorisme teridentifikasi dalam konteks tindakan kolektif-terorganisir. Dalam konteks seperti itu, kerangka ideologis yang menggunakan ajaran dan jargon agama akan memudahkan mobilisasi massa untuk menambah dan memperbesar kekuatan perlawanan. Sehingga kritik terhadap siapa saja yang disebut teroris atau kelompok teroris dengan menyatakan bahwa tindakan mereka bertentangan dengan ajaran agama, justru akan semakin memperkuat terorisme. Agama sebagai representasi kumpulan kehendak Tuhan dan hukum Tuhan, tidak tergantung pada apa yang ditafsirkan segolongan manusia tertentu. Kehendak Tuhan yang tidak dapat diintervensi manusia dan hukum Tuhan yang tidak sepenuhnya jelas dalam teks kitab suci serta penghargaan Tuhan terhadap kesalehan individual lewat pengorbanan individual, memberikan ruang bagi setiap orang untuk menafsirkan semua itu berdasarkan tafsir masing-masing. Bukankah kelompok tertentu yang kita sebut teroris selama ini juga menghukum kita sebagai kafir?

Coen Husain Pontoh dalam tulisannya Terorisme Sebagai Pukulan Mundur Bagi Politik Progresif, edisi 15 Januari 2016 menyatakan, “dalam sejarah politik dunia, hampir tak ada bukti kuat dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa sebuah aksi teroristik bisa menjatuhkan pemerintah atau rezim yang berkuasa….. Justru yang berlaku sebaliknya. Aksi-aksi teror ini membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat represifnya menjadi berlipat ganda.” Terkait dengan pernyataan ini, kita bisa berdebat satu sama lain. Namun demikian, pernyataan tersebut mengandung tiga konsekuensi logis dalam memandang perkembangan terorisme. Pertama, perkembangan terorisme harus diletakkan dalam kerangka historis. Kedua, aksi teroristik ternyata merupakan salah satu tindakan yang dipilih manusia untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap rezim pemerintah. Ketiga, setiap fenomena teror dapat menjadi legitamasi rezim untuk memperbesar kekuatannya. Ketiga konsekuensi logis ini menegaskan bahwa terorisme merupakan fenomena historis yang didalamnya terkait dengan realitas sosio-politik. Kalau sudah seperti itu, lalu apa sebenarnya yang menjadi alasan utama terorisme?

Perkembangan terorisme sesungguhnya diakibatkan oleh basis material dalam wujud ketimpangan material. Sekaligus, basis material inilah yang menjadi pemicu utama terorisme yang saat ini telah menjadi fenomena global. Adapun tujuannya tentu tidak lain hanya perebutan sektor material yang kemudian dikuatkan dengan cita-cita pendirian asosiasi politik negara. Lagipula basis material tidak berurusan dengan agama tertentu. Orang kaya dan miskin dapat dapat menjadi penganut agama apapun.

Basis material perkembangan terorisme bisa dibuktikan dengan dua fakta pendukung utama. Pertama, sebagian besar pelaku teror berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kelas sosial menengah ke bawah jelas merupakan sasaran mobilisasi massa yang sangat potensial. Kesulitan ekonomi yang mereka hadapi, membuat mereka mudah diorganisir untuk melakukan tindakan-tindakan teror tertentu, apalagi ada imbalan finansial yang bisa mereka dapatkan untuk menopang kebutuhan material. Kedua, beberapa kelompok teroris yang teridentifiksasi ternyata memiliki sumber keuangan yang sangat besar. Kondisi ini sangat penting untuk memudahkan kegiatan mobilisasi massa dan kebutuhan logistik. Bahkan, fenomena terorisme telah membantu perusahaan-perusahaan pembuat senjata untuk menguji kualitas senjata yang dihasilkan. Kalau sudah seperti itu, masihkah kita akan menggunakan doktrin-doktrin untuk menghentikan terorisme?

Bagi aparatur negara, mungkin penggunaan doktrin-doktrin agama untuk melawan terorisme sangat penting. Terlebih lagi bila yang menyampaikan doktrin-doktrin agama itu adalah para pemuka dan tokoh-tokoh agama. Sebab, sebagaimana kelompok teroris yang membutuhkan agama untuk melegitimasi tindakan teror, aparatur negara juga membutuhkan agama untuk melawan kelompok-kelompok yang dianggap pelaku teror. Konsekuensinya jelas, bukannya meminimalisir terorisme, yang terjadi justru akan memperluas terorisme. Aparatur dengan kewenangan dan kapasitas perang yang dimiliki dan ditopang oleh legalitas hukum serta dukungan para pemuka dan tokoh-tokoh agama, dapat menjadi kelompok teror lain terhadap warganya dan kemanusiaan secara umum.

Karena itu, perkembangan terorisme, pada akhirnya, harus dilihat sebagai akibat kegagalan negara dalam mewujudkan kesejahteraan material bagi warganya. Bukannya berupaya mewujudkan tugas utama itu, rezim pemerintah sebagai representasi pelaksana negara justru semakin memperbesar struktur kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin. Pembangunan ekonomi hanya menguntungkan kelas kaya dan hasilnya pun hanya dinikmati kalangan elit. Sementara itu, penderitaan kelas bawah semakin parah. Kalau ini terus berlanjut, kita tidak dapat menyalahkan kelompok-kelompok yang disebut teroris. Fenomena ini harus dibaca dalam konteks gerakan protes-kritis sebagaimana gerakan-gerakan protes-kritis pada umumnya.***



Penulis adalah mahasiswa S2 Filsafat UGM, Yogyakarta dan aktif di Pusat Studi Filsafat dan Interdisipliner, Malang

Sosialisme dan Kemubaziran



 APA SAJAKAH tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan? Ada banyak jawaban yang mungkin diajukan, seperti mengikis budaya penindasan yang terlanjur berurat-akar dalam masyarakat, melawan sisa-sisa prasangka feodal, kungkungan patriarki, rasisme, sentimen homofobik, birokratisme, sentimen antidemokratis dan segala bentuk kultur eksploitatif yang ditinggalkan kapitalisme. Semua aspek itu telah banyak dikupas dalam kajian-kajian tentang sosialisme. Pada kesempatan ini, saya coba mengangkat suatu jawaban lain. Salah satu tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan adalah memberi ruang pada kemubaziran.

Dalam konteks kultural, apakah yang dimaksud sebagai kemubaziran? Untuk mudahnya, bayangkan saja serangkaian situasi semacam ini. Bayangkan seorang penulis prosa yang mengabdikan seumur hidupnya menggagas sistem kekerabatan yang begitu kompleks di antara makhluk-makhluk imajiner dari galaksi Andromeda. Bayangkan seorang profesor filsafat yang menghabiskan sebagian besar hidupnya merakit sebuah sistem logika di mana semua proposisi niscaya salah, lengkap dengan ketentuan sintaksis dan semantik yang berbelit-belit dan tak ada faedahnya. Bayangkan seorang komponis yang mencurahkan segenap tenaganya mencari segala macam bunyi dan komposisi musikal yang dijamin membikin orang frustrasi. Bayangkan seorang filolog yang mengorbankan segala kewarasannya untuk mempelajari aturan lingustik di balik simbol Jiahu dari 6000 SM yang hanya ditemukan di beberapa biji artifak di Cina dan nyaris tak punya efek apa-apa pada sejarah masyarakat selanjutnya. Bayangkan ratusan jenis orang yang mengabaikan hidupnya demi memikirkan, menciptakan, mengimajinasikan hal-hal yang sama sekali tak relevan bagi kemaslahatan masyarakat. Kemana perginya orang-orang semacam itu pada hari ketika revolusi usai dan sosialisme menjadi tatanan sehari-hari?

Sudah bisa dilihat dari sana bahwa kemubaziran yang saya maksudkan bukanlah semacam laku memboroskan kekayaan secara sia-sia atau menyisakan makanan. Kemubaziran yang dimaksud di sini lebih pelik ketimbang sekadar sikap manja semacam itu—suatu jenis kemubaziran yang menuntut pengorbanan berdarah-darah dari yang bersangkutan. Mereka tidak anti-Marxis, mereka tidak antipati pada sosialisme. Satu-satunya dosa mereka, pun kalau ini bisa dianggap dosa, adalah karena mereka sibuk sendiri. Mereka begitu sibuk memikirkan apa yang memang merupakan bidang keahlian mereka, tanpa mengindahkan kemungkinan penerapan, kegunaan ataupun link and match-nya dengan sistem pembagian kerja yang berlaku di masyarakat. Keberadaan orang semacam mereka, tentu saja, merupakan konsekuensi dari diferensiasi pembagian kerja dan karenanya tingkat persebaran orang semacam itu akan cenderung lebih merata dalam masyarakat akibat penghapusan pembagian kerja di dalam sosialisme. Akan tetapi, itu masa depan yang sangat jauh. Sedangkan apa yang kita bicarakan adalah yang berkenaan dengan fase transisi awal ke dalam sosialisme. Oleh karena itu, kita mesti menjawab: apa yang mesti dilakukan pemerintahan sosialis di beberapa puluh (atau beberapa ratus) tahun pertamanya bagi orang-orang macam mereka?

Aksioma sosialisme menyatakan: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya bagi masyarakat.” Tapi keahlian mereka tidak menyumbangkan apa-apa bagi masyarakat. Mereka tentu punya sumbangan, tetapi sifatnya sangat tidak langsung. Taruh kata seorang ahli logika menemukan suatu terobosan penting dalam lingkup keahliannya yang teramat sempit. Pada hari ketika ia menghasilkan terobosan itu, tak ada suatu apapun yang berubah dari dunia di sekitarnya. Segalanya baru berubah ketika terobosan logika itu diterjemahkan oleh para insinyur menjadi piranti nyata yang punya faedah bagi masyarakat. Inilah yang terjadi, misalnya, dengan fuzzy logic dan penerjemahan praktisnya ke dalam AC pintar yang dapat menyesuaikan suhu ruangan pada jumlah orang di ruangan. Pada kasus-kasus lain, hubungannya bahkan bisa begitu jauh: suatu temuan kunci di bidang yang obskur perlu diterjemahkan dalam empat atau lima bidang keilmuan yang berbeda sampai akhirnya berguna bagi masyarakat. Bahkan tak jarang ditemui, kegunaannya baru ditemukan jauh setelah perumus pertamanya mati kelaparan atau pincang digebuki warga. Lotfi Zadeh, penulis makalah “Fuzzy Sets” di tahun 1965, yang meluncurkan fuzzy logic, tidak berpikir dalam kerangka ingin membuat AC pintar. Jan Lukasiewicz dan Alfred Tarski tidak bersusah-payah merumuskan sistem logika nilai-jamak yang melandasi fuzzy logic dengan cita-cita ingin membuat mesin cuci canggih.

Lantas adakah ruang bagi orang-orang semacam itu dalam sosialisme? Tentu, mereka bisa saja diminta melakukan pekerjaan lain yang secara sama rata dilakukan orang-orang, seperti menyikat WC umum dan menyapu jalan raya. Mereka bisa saja diminta hadir dalam acara-acara rembug warga, turut berperan serta dalam soviet-soviet. Hal-hal semacam itu mungkin tak jadi soal buat mereka. Yang jadi soal adalah ketika pemerintah menganggap bidang yang mereka dalami itu tak ada, ketika pemerintah melarang mereka mengerjakan keahlian mereka hanya gara-gara hal itu—entah karena alasan apa—dianggap “borjuis”. Sebab dengan itu, mereka akan merasa dipisahkan dari alasan keberadaannya di bumi. Kecenderungan anti-intelektual semacam inilah yang justru membidani lahirnya kecenderungan intelektualisme elitis di kalangan para pegiat budaya di masyarakat, lahirnya komentar ironis dan sinis tentang “menulis puisi di negeri orang dungu”. Anti-intelektualisme yang membabi-buta dan intelektualisme elitis akan menjadi lingkaran setan yang membelit agenda-agenda sosialisme di lapangan kebudayaan.

Tantangan besar sosialisme di ranah kebudayaan, karenanya, ialah memberikan ruang bagi gairah pada hal-hal yang “tak berguna”, atau setidaknya “nyaris tak berguna”. Sosialisme yang baik adalah sosialisme yang mengakomodasi kemubaziran, yang tidak mengharuskan segala-galanya tepat guna sekarang juga, yang memaklumi bahwa pemikiran dan imajinasi bekerja pada ruang dan waktu yang berbeda, dengan cara kerjanya sendiri. Ini persoalan yang gampang-gampang susah. Bagaimana caranya memberi tempat pada para revolusioner linglung semacam itu? Inilah tantangan sosialisme di ranah kebudayaan yang mesti dijawab, selain tantangan-tantangan besar yang sering dibahas.

Persoalan ini tidak eksklusif berlaku pada fase pembangunan sosialisme awal, tetapi juga jauh sebelumnya, yakni pada masa-masa gerakan sosial dan kepartaian pra-revolusi. Bagaimana partai Marxis menyikapi para pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir? Tentu saja, partai Marxis akan mudah mengambil posisi terhadap para ekonom, sosiolog atau antropolog, karena ilmu-ilmu yang mereka dalami berguna dan relevan bagi tujuan-tujuan revolusi. Akan tetapi, terhadap yang selebihnya, persoalannya jadi lebih pelik. Untuk apa mengonsolidasi segelintir orang yang tak berguna? Untuk apa membuang tenaga membangun kerjasama dengan filolog asosial, komponis apolitis, pemikir pemalu, matematikawan apatis? Pertanyaan semacam ini memang tak mudah dijawab. Akan tetapi, boleh jadi kemenangan revolusi ikut ditentukan oleh jawaban partai terhadap hal-hal semacam itu. Sebab revolusi bukan cuma soal pengerahan tenaga politik, tetapi juga budaya.

Tiap kali berbicara tentang yang mubazir dalam sosialisme, kita mau tak mau teringat pada Dimitri Shostakovich. Komponis Soviet itu dibenci oleh Stalin dan para petinggi partai akibat opera Nyonya Macbeth dari Distrik Mtsensk yang penuh olok-olok. Karyanya yang begitu pelik, seperti Simfoni 4, batal tampil akibat tekanan para apparatchik. Ia dipaksa menggubah lagu-lagu tepat guna seperti mars untuk para tentara merah dan waltz untuk acara kondangan para pembesar partai. Ia terus berusaha menciptakan karya-karya serius. Konon, ia selalu membawa koper yang berisi pakaian dan beberapa buku, bukan untuk melarikan diri dari Soviet, melainkan agar semuanya sudah siap ketika ia suatu kali diciduk aparat dan dibuang ke Siberia. Ia merelakan dirinya dipermainkan oleh para birokrat partai, oleh gerombolan kera medioker yang memegang kuasa, tanpa sekalipun berusaha meninggalkan Uni Soviet. Tapi Shostakovich adalah seorang Marxis. Ia masih percaya pada ideal-ideal sosialisme. Ia tak ingin ideal itu runtuh dengan pelarian dirinya ke Blok Barat. Ia seperti sadar betul: ia punya masalah dengan pemerintahan sosialis yang ada kala itu, bukan dengan sosialisme itu sendiri.

Terhadap kesediaannya untuk ditindas beruk-beruk dari Kremlin sembari berpegang teguh pada sosialisme, kita perlu angkat topi. Akan tetapi, kita tak bisa mengandaikan semua pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir bersikap seperti Shostakovich. Untuk itu, kita masih harus memikirkan cara mendudukkan problem kemubaziran dalam kerangka sosialisme dan gerakan sosialis.***

Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi


Pendahuluan

PADA perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?.

Pertanyaan tersebut mencoba mencari apa yang terjadi sebenarnya dalam gerakan mahasiswa atau pemuda ini di era reformasi. Para mahasiswa bersama rakyat yang telah berhasil melengserkan Soeharto setelah 32 tahun memimpin pada mei 1998, tidak mampu turut menyingkirkan orang-orang dalam lingkaran orba. Mereka tidak menghasilkan tokoh populis yang menuntun agenda besar revolusi nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi massa yang begitu besar, yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif yang masih dalam enclave orba seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pada detik-detik terakhir. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan besar, karena kroni-kroni orba masih tetap bergentayangan di pusat-pusat pengambilan keputusan.

Setelah hampir 17 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari realita yang ada. Para mahasiswa lebih senang dan bangga jadi juru keplok (tepuk tangan) di acara-acara TV atau duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern yang begitu gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat leluasa berbicara tentang artis idola, film populer serta trend atau mode pakaian terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh dapat hidup layak.

Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit yang menyetir media massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer (EO)? Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa?

Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit (ahistoris). Tetapi tak dapat dilepaskan pada akar sejarah. Banyak pengamat menganggap hal ini adalah buah dari neoliberalisme yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya yang melihat karena pengaruh habitus. Namun analisa tersebut mengandaikan mahasiswa sebagai makhluk yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mahasiswa adalah manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak (hidup). Itu adalah faktor eksternal sedangkan faktor internal adalah tentang dinamika gerakan di tubuh organisasi mahasiswa ini. Analisa yang lebih genit lagi adalah ketika menganggap hal tersebut adalah faktor moralitas, yang solusinya adalah penanaman nilai agama atau ceramah motivasi surgawi.



Sejarah Gerakan Mahasiswa Dari Masa ke Masa

Sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan pada masa perkembangan 1912-1926 atau yang menurut Takashi Shiraishi adalah peristiwa ‘Zaman Bergerak’. Peran para intelektual muda yang membawa gagasan baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran politik rakyat. Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran politik baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi. Hal tersebut tidak mungkin dapat ditemui dari masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat mesianistik atau yang dipimpin para feodal dengan cara tradisional.

Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial, namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi massa secara besar telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif melakukan berbagai aksi pemogokan dan tuntutan. Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam gerakan. Ketika gerakan kiri diberangus pada penghujung 1926, kekosongan tonggak gerakan diambil alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri radikal yang telah terbentuk kesadaran politiknya pada 1920an, seperti Soekarno dengan PNI dan gagasan Marhenismenya.

Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa dipisahkan dari kekuatan gerakan rakyat ini. Mereka melakukan perang gerilya, mogok, vergadering, aksi massa, berorganisasi, rapat akbar dan berpartai untuk menuntaskan proses revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme. Para mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi, land reform dan berdikari.

Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan revolusi nasional yang hampir 60 tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim Orde Baru (orba). Gerakan mahasiswa pada 1965 yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jendral Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 25 Oktober 1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam mendirikan orba. Setelah orba tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di luar.

Gerakan mahasiswa pada tahun 1970an, terjebak pada kerangka gerakan moral. Seperti tokoh dalam gerakan tersebut Arief Budiman, yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan Putih terhadap Pemilu yang tak adil. Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh rezim orba.


gm1Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto

Kebijakan ‘massa mengambang’ yang digagas oleh Ali Moertopo telah membuat rakyat buta politik. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang marah terhadap penguasa tak dapat menyalurkan amarahnya dalam gerakan politik yang terorganisasi, sehingga yang terjadi adalah kerusuhan. Hingga terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang dilakukan generasi mahasiswa 1973-74. Akibat proses tersebut rezim Soeharto mengambil tindakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) dalam kehidupan politik. Karena kampus selama periode tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik terhadap penguasa.

Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980an sampai 1998 mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965, yaitu karena terpisah dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis massa yang kuat dan luas (analisa Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa & tokoh pendiri PRD). Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980an yang berhasil menggulingkan diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan berjuang bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan strategi yang sama. PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh mahasiswa, aktivis, buruh, petani dan lainnya) memainkan peran penting dalam kembali menjalankan politik mobilisasi massa dengan cara Live-in di kawasan perburuhan, kawasan pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria. Hingga akhirnya rezim Soeharto menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan menangkap para aktivisnya. Hal tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah tanah dengan membawa bendera berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto pada Mei 1998 setelah 32 tahun memimpin.

Seperti yang ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa atau pemuda yang berhasil menggulingkan Soeharto tersebut ternyata tidak menghasilkan tokoh politik nasional pada periode era reformasi. Bahkan sampai sekarang, tokoh nasional hanya diisi oleh orang-orang dari enclave orba. Pada 1999 ada Amin Rais, Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai sekarang hanya diisi oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk enclave peninggalan orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki gagasan besar tentang ke-Indonesiaan.

PRD sebagai pelopor gerakan melengserkan Soeharto dalam pemilu 1999, juga tidak dapat berbicara banyak. Jargon mereka “Pilih PRD atau Boikot Pemilu bersama Rakyat” menunjukan adanya kebimbangan dan perpecahan di internal partai tersebut dalam terjun dalam ajang kontestasi politik. Perpecahan terjadi karena ada dua arus pemikiran berbeda, apakah mereka akan bergerak di luar sistem dengan politik ekstra-parlementer atau bergerak di dalam. Sebelumnya mereka dikhianati oleh 4 tokoh reformis yaitu Megawati, Abdurahman Wahid, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuwono X melalui pertemuan Ciganjur, yang kemudian menghentikan sebagian besar kekuatan mobilisasi massa yang memiliki potensi besar membawa roda pemerintahan kembali menapaki semangat revolusi nasional.

Hingga saat ini, PRD telah mengalami masa degenerasi dan deidiologisasi, karena aktivis-aktivis yang bergerak di dalamnya selama periode 1994-2000an telah banyak yang keluar. Garis politik PRD dari gagasan sosialisme demokrasi kerakyatan, sekarang cenderung mengarah ke Soekarnoisme. PRD pun pada akhirnya kehilangan pengaruhnya pada basis massa rakyat. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh hilangnya musuh bersama yaitu Soeharto pada era orba. Setelah Soeharto sukses dijatuhkan, bayangan akan musuh bersama menjadi samar. Ketiadaan musuh bersama membuat mereka kehilangan dukungan dari rakyat.

Selain itu faktor yang penting sebagaimana kesimpulan dari Pram dalam menjawab pertanyaan di awal adalah bahwa: “Kita secara nasional dilahirkan oleh revolusi nasional dan berhasil menghalau Imperialisme… disusul perjuangan menuntaskan revolusi: sekarang itu sudah padam samasekali. Kesimpulan saya: karena perkembangan orba menyalahi sejarah sebagai titik awal tempat bertolak sehingga kehilangan arah tak tau tujuan, alias ngawur”.

Pembantaian masal pada organ gerakan kiri, penghancuran terhadap gagasan revolusioner dan pemberangusan mobilisasi rakyat untuk menuntaskan revolusi nasional selama masa orba, telah membuat rakyat menjadi buta politik. Kekosongan gagasan revolusioner telah mencuatkan gagasan konservatif. Setelah jatuhnya Soeharto, rakyat yang dibuat menjadi masa mengambang, banyak yang tak mengetahui kemana mereka harus menyandarkan pilihan politiknya. PRD tidak mampu melakukan kampanye masif di berbagai media massa umum, sementara koran yang dibuatnya tidak mampu menyentuh segala lini masyarakat.

Akibatnya rakyat yang tengah berada pada masa krisis menyandarkan pilihan politiknya pada tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media massa. Hilangnya budaya berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini. Kekosongan politik kiri, membuat para pemuda pengangguran, pemuda di pinggiran kota, pemuda desa yang tereksklusi dari dunia pertanian dan begitu pula para mahasiswa pada akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada gagasan politik relijius konservatif atau relijius fundamentalis radikal. Para pemuda tersebutlah yang sekarang menjadi basis masa dari organisasi semacam FPI (Front Pembela Islam).



Apa Yang Harus Dilakukan?

Kini kita dihadapkan pada hasil dari proses penghancuran atau kontra-revolusi gerakan politik rakyat oleh rezim orba. Konsep “massa mengambang” yang diterapkan oleh rezim orba telah membuat mahasiswa begitupula rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran palsu mereka dan imajinasi ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya gerakan mahasiswa ke depan harus mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.

Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan selebrasi politik. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan petisi online, akan tetapi bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di Chile berhasil mendorong kebijakan kuliah gratis yang dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun ke jalan-jalan untuk aksi massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa sejak tahun 2006 melalui apa yang dinamai Penguin Revolution.

Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan teori, mereka harus turun ke massa rakyat melalui strategi live-in dengan melakukan aktivitas sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada massa dan keyakinan atas kekuatannya. Melakukan berbagai kajian dan membentuk media propaganda seperti Koran menjadi penting untuk memperkuat argumen dan memperluas kesadaran massa. Kebijakan pemerintah yang masih terjerat dalam politik neoliberal, membuat terus terjadinya berbagai konflik yang melibatkan rakyat dengan pemerintah atau swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka dapat turut membantu perjuangan rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal utama adalah untuk menghidupkan kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia”.***


Penulisadalah Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (ISIPOL) – UGM 2010.

Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928

Rabu, 02 November 2016 18:03 Nasional Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928 Jakarta, NU Online Sejumlah...