APA SAJAKAH tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan? Ada banyak jawaban yang mungkin diajukan, seperti mengikis budaya penindasan yang terlanjur berurat-akar dalam masyarakat, melawan sisa-sisa prasangka feodal, kungkungan patriarki, rasisme, sentimen homofobik, birokratisme, sentimen antidemokratis dan segala bentuk kultur eksploitatif yang ditinggalkan kapitalisme. Semua aspek itu telah banyak dikupas dalam kajian-kajian tentang sosialisme. Pada kesempatan ini, saya coba mengangkat suatu jawaban lain. Salah satu tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan adalah memberi ruang pada kemubaziran.
Dalam konteks kultural, apakah yang dimaksud sebagai kemubaziran? Untuk mudahnya, bayangkan saja serangkaian situasi semacam ini. Bayangkan seorang penulis prosa yang mengabdikan seumur hidupnya menggagas sistem kekerabatan yang begitu kompleks di antara makhluk-makhluk imajiner dari galaksi Andromeda. Bayangkan seorang profesor filsafat yang menghabiskan sebagian besar hidupnya merakit sebuah sistem logika di mana semua proposisi niscaya salah, lengkap dengan ketentuan sintaksis dan semantik yang berbelit-belit dan tak ada faedahnya. Bayangkan seorang komponis yang mencurahkan segenap tenaganya mencari segala macam bunyi dan komposisi musikal yang dijamin membikin orang frustrasi. Bayangkan seorang filolog yang mengorbankan segala kewarasannya untuk mempelajari aturan lingustik di balik simbol Jiahu dari 6000 SM yang hanya ditemukan di beberapa biji artifak di Cina dan nyaris tak punya efek apa-apa pada sejarah masyarakat selanjutnya. Bayangkan ratusan jenis orang yang mengabaikan hidupnya demi memikirkan, menciptakan, mengimajinasikan hal-hal yang sama sekali tak relevan bagi kemaslahatan masyarakat. Kemana perginya orang-orang semacam itu pada hari ketika revolusi usai dan sosialisme menjadi tatanan sehari-hari?
Sudah bisa dilihat dari sana bahwa kemubaziran yang saya maksudkan bukanlah semacam laku memboroskan kekayaan secara sia-sia atau menyisakan makanan. Kemubaziran yang dimaksud di sini lebih pelik ketimbang sekadar sikap manja semacam itu—suatu jenis kemubaziran yang menuntut pengorbanan berdarah-darah dari yang bersangkutan. Mereka tidak anti-Marxis, mereka tidak antipati pada sosialisme. Satu-satunya dosa mereka, pun kalau ini bisa dianggap dosa, adalah karena mereka sibuk sendiri. Mereka begitu sibuk memikirkan apa yang memang merupakan bidang keahlian mereka, tanpa mengindahkan kemungkinan penerapan, kegunaan ataupun link and match-nya dengan sistem pembagian kerja yang berlaku di masyarakat. Keberadaan orang semacam mereka, tentu saja, merupakan konsekuensi dari diferensiasi pembagian kerja dan karenanya tingkat persebaran orang semacam itu akan cenderung lebih merata dalam masyarakat akibat penghapusan pembagian kerja di dalam sosialisme. Akan tetapi, itu masa depan yang sangat jauh. Sedangkan apa yang kita bicarakan adalah yang berkenaan dengan fase transisi awal ke dalam sosialisme. Oleh karena itu, kita mesti menjawab: apa yang mesti dilakukan pemerintahan sosialis di beberapa puluh (atau beberapa ratus) tahun pertamanya bagi orang-orang macam mereka?
Aksioma sosialisme menyatakan: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya bagi masyarakat.” Tapi keahlian mereka tidak menyumbangkan apa-apa bagi masyarakat. Mereka tentu punya sumbangan, tetapi sifatnya sangat tidak langsung. Taruh kata seorang ahli logika menemukan suatu terobosan penting dalam lingkup keahliannya yang teramat sempit. Pada hari ketika ia menghasilkan terobosan itu, tak ada suatu apapun yang berubah dari dunia di sekitarnya. Segalanya baru berubah ketika terobosan logika itu diterjemahkan oleh para insinyur menjadi piranti nyata yang punya faedah bagi masyarakat. Inilah yang terjadi, misalnya, dengan fuzzy logic dan penerjemahan praktisnya ke dalam AC pintar yang dapat menyesuaikan suhu ruangan pada jumlah orang di ruangan. Pada kasus-kasus lain, hubungannya bahkan bisa begitu jauh: suatu temuan kunci di bidang yang obskur perlu diterjemahkan dalam empat atau lima bidang keilmuan yang berbeda sampai akhirnya berguna bagi masyarakat. Bahkan tak jarang ditemui, kegunaannya baru ditemukan jauh setelah perumus pertamanya mati kelaparan atau pincang digebuki warga. Lotfi Zadeh, penulis makalah “Fuzzy Sets” di tahun 1965, yang meluncurkan fuzzy logic, tidak berpikir dalam kerangka ingin membuat AC pintar. Jan Lukasiewicz dan Alfred Tarski tidak bersusah-payah merumuskan sistem logika nilai-jamak yang melandasi fuzzy logic dengan cita-cita ingin membuat mesin cuci canggih.
Lantas adakah ruang bagi orang-orang semacam itu dalam sosialisme? Tentu, mereka bisa saja diminta melakukan pekerjaan lain yang secara sama rata dilakukan orang-orang, seperti menyikat WC umum dan menyapu jalan raya. Mereka bisa saja diminta hadir dalam acara-acara rembug warga, turut berperan serta dalam soviet-soviet. Hal-hal semacam itu mungkin tak jadi soal buat mereka. Yang jadi soal adalah ketika pemerintah menganggap bidang yang mereka dalami itu tak ada, ketika pemerintah melarang mereka mengerjakan keahlian mereka hanya gara-gara hal itu—entah karena alasan apa—dianggap “borjuis”. Sebab dengan itu, mereka akan merasa dipisahkan dari alasan keberadaannya di bumi. Kecenderungan anti-intelektual semacam inilah yang justru membidani lahirnya kecenderungan intelektualisme elitis di kalangan para pegiat budaya di masyarakat, lahirnya komentar ironis dan sinis tentang “menulis puisi di negeri orang dungu”. Anti-intelektualisme yang membabi-buta dan intelektualisme elitis akan menjadi lingkaran setan yang membelit agenda-agenda sosialisme di lapangan kebudayaan.
Tantangan besar sosialisme di ranah kebudayaan, karenanya, ialah memberikan ruang bagi gairah pada hal-hal yang “tak berguna”, atau setidaknya “nyaris tak berguna”. Sosialisme yang baik adalah sosialisme yang mengakomodasi kemubaziran, yang tidak mengharuskan segala-galanya tepat guna sekarang juga, yang memaklumi bahwa pemikiran dan imajinasi bekerja pada ruang dan waktu yang berbeda, dengan cara kerjanya sendiri. Ini persoalan yang gampang-gampang susah. Bagaimana caranya memberi tempat pada para revolusioner linglung semacam itu? Inilah tantangan sosialisme di ranah kebudayaan yang mesti dijawab, selain tantangan-tantangan besar yang sering dibahas.
Persoalan ini tidak eksklusif berlaku pada fase pembangunan sosialisme awal, tetapi juga jauh sebelumnya, yakni pada masa-masa gerakan sosial dan kepartaian pra-revolusi. Bagaimana partai Marxis menyikapi para pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir? Tentu saja, partai Marxis akan mudah mengambil posisi terhadap para ekonom, sosiolog atau antropolog, karena ilmu-ilmu yang mereka dalami berguna dan relevan bagi tujuan-tujuan revolusi. Akan tetapi, terhadap yang selebihnya, persoalannya jadi lebih pelik. Untuk apa mengonsolidasi segelintir orang yang tak berguna? Untuk apa membuang tenaga membangun kerjasama dengan filolog asosial, komponis apolitis, pemikir pemalu, matematikawan apatis? Pertanyaan semacam ini memang tak mudah dijawab. Akan tetapi, boleh jadi kemenangan revolusi ikut ditentukan oleh jawaban partai terhadap hal-hal semacam itu. Sebab revolusi bukan cuma soal pengerahan tenaga politik, tetapi juga budaya.
Tiap kali berbicara tentang yang mubazir dalam sosialisme, kita mau tak mau teringat pada Dimitri Shostakovich. Komponis Soviet itu dibenci oleh Stalin dan para petinggi partai akibat opera Nyonya Macbeth dari Distrik Mtsensk yang penuh olok-olok. Karyanya yang begitu pelik, seperti Simfoni 4, batal tampil akibat tekanan para apparatchik. Ia dipaksa menggubah lagu-lagu tepat guna seperti mars untuk para tentara merah dan waltz untuk acara kondangan para pembesar partai. Ia terus berusaha menciptakan karya-karya serius. Konon, ia selalu membawa koper yang berisi pakaian dan beberapa buku, bukan untuk melarikan diri dari Soviet, melainkan agar semuanya sudah siap ketika ia suatu kali diciduk aparat dan dibuang ke Siberia. Ia merelakan dirinya dipermainkan oleh para birokrat partai, oleh gerombolan kera medioker yang memegang kuasa, tanpa sekalipun berusaha meninggalkan Uni Soviet. Tapi Shostakovich adalah seorang Marxis. Ia masih percaya pada ideal-ideal sosialisme. Ia tak ingin ideal itu runtuh dengan pelarian dirinya ke Blok Barat. Ia seperti sadar betul: ia punya masalah dengan pemerintahan sosialis yang ada kala itu, bukan dengan sosialisme itu sendiri.
Terhadap kesediaannya untuk ditindas beruk-beruk dari Kremlin sembari berpegang teguh pada sosialisme, kita perlu angkat topi. Akan tetapi, kita tak bisa mengandaikan semua pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir bersikap seperti Shostakovich. Untuk itu, kita masih harus memikirkan cara mendudukkan problem kemubaziran dalam kerangka sosialisme dan gerakan sosialis.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar