Kamis, 13 Oktober 2016 04:00 Nasional
Agama dalam Politik Kekuasaan
Ahli sejarah mengatakan, penemuan manusia paling tertua setelah penemuan api adalah agama. Dari mana datang agama itu masih menjadi kesanksian. Yang menganut teisme akan mengatakan agama muncul berdasarkan wahyu dari Tuhan yang disampaikan melalui utusannya. Pasangan manusia pertama adalah Adam dan Hawa yang diyakini oleh agama-agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) berasal dari surga yang diturunkan ke bumi karena melakukan dosa besar. Adam adalah pembawa wahyu pertama kepada keturunannya, setelah ia wafat muncul utusan-utusan lain dari anak cucunya.
Mereka yang ateis akan mengatakan agama muncul sebagai penenang hati manusia dan menjadi alat kontrol sosial. Penenang hati karena manusia melihat setelah ia hidup akan menemui mati. Mati menjadi tanda tanya besar karena tidak ada pengetahuan untuk mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Mereka menemukan bahwa kadangkala dalam kehidupan terdapat hal-hal janggal seperti muncul bayang-bayang aneh menakutkan yang mereka sebut dengan hantu. Konsep hantu menjadi konsep awal tentang adanya roh. Roh dipahami sebagai wujud setelah mati yang keluar dari jasad. Roh adalah kehidupan kedua, dan mempunyai kuasa untuk mendatangkan marabahaya dan kebahagian kepada manusia.
Oleh karena itu, mereka mengubur mayat dengan sebaik mungkin, ditempatkan dalam peti dan diucapkan kalimat-kalimat tertentu (mantra) agar roh tersebut bisa hidup damai dalam kehidupan keduanya. Orang-orang yang sakit seperti ayan (epilepsi), diyakini berasal dari gangguan roh jahat, sehingga perlu dibuatkan sesuatu untuk menenangkan roh. Muncullah konsep dukun, yaitu seorang yang ahli membaca kalimat-kalimat untuk roh, dan didengarkan oleh roh kata-katanya. Dari konsep demikian secara perlahan menjadi agama, dan agama itu menjadi bermacam-macam tergantung kondisi sosial setempat; muncul animisme, paganisme, pantheisme, sampai konsep yang paling komplit yaitu monoteisme.
Dan tidak dapat dielakkan bahwa sejak awal agama saling berperang, mendominasi untuk memperebutkan manusia. Persaingan antar agama itu terjadi melalui konsep keyakinan dan aturan-aturan yang ada dalam agama. Bukan soal apakah konsep keyakinan itu adalah hasil karya manusia dari generasi ke generasi sebagaimana dalam paham ateis, atau memang berasal dari Tuhan dalam teisme. Peperangan antar agama ini adalah hukum alam, sebagaimana persaingan antara kebaikan dan kejahatan. Sebabnya adalah karena manusia memiliki akal yang ia gunakan sebagai alat penilai.
Sebagian manusia menilai agama tertentu adalah jalan yang benar, karenanya ia ingin agar orang-orang terdekat dengan nya mengikuti jalan yang ia tempuh. Mulailah ia menyampaikan pesan, ajaran agama, serta propaganda untuk mempengaruhi. Sesekali mengetengahkan alasan-alasan yang logis tentang kebenaran agamanya dan dilain waktu mengungkap kelemahan-kelemahan agama lain. Di lain pihak, penganut agama lain juga mempunyai pandangan yang sama untuk menyebarkan kebenaran agama yang ia yakini. Maka terjadilah perebutan manusia oleh agama-agama, yang satu ingin mendominasi yang lain.
Melalui akal manusia, agama memainkan perannya mengatur manusia, menjadikan manusia sebagai objek untuk dikontrol. Agama membuat aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan aturan-aturan yang dilarang untuk dilakukan. Agama juga menunjukkan kepada manusia bahwa suatu perbuatan adalah kejahatan, dan yang lain adalah kebaikan. Setiap kejahatan akan diganjar dengan dosa, setiap kebaikan diganjar dengan pahala. Dosa membawa kepada neraka, yaitu tempat yang oleh agama dijadikan kediaman manusia pembangkang yang dipenuhi oleh siksa-siksa yang tiada tara. Kebaikan membawa kepada surga, yaitu tempat yang penuh dengan kenikmatan.
Dalam agama tertentu konsep surga dan neraka menjadi kabur oleh konsep reinkarnasi. Reinkarnasi adalah keyakinan bahwa roh dari manusia yang telah mati akan hidup kembali ke dunia dengan wujud baru, dimana wujud itu tergantung prilaku manusia sebelum ia mati. Jika ia selalu melakukan kejahatan bisa jadi akan berinkarnasi menjadi babi, kambing, tumbuhan atau segala sesuatu yang tidak terhormat. Sebaliknya, manusia baik akan berinkarnasi menjadi manusia baik, atau menjadi dewa. Konsep demikian bisa ditemukan dalam agama budha, hindu, dan animisme.
Dengan kata lain, agama memegang ubun-ubun manusia dengan konsep akhirat, kehidupan setelah mati. Pun, cukup logis untuk setiap manusia beragama. Manusia melihat alam yang luar biasa megahnya, yang rahasianya sulit diungkap. Ia menundukkan alam untuk memenuhi kebutuhannya, dibuatnya rumah dari pepohonan, dibuatnya kursi untuk tempat duduk, dll. Dari itu sangat logis manusia manapun akan bertanya pada dirinya bukankah seharusnya ia pun diciptakan. Dengan perangkap kodrat alam tersebut, manusia mengelompokkan diri nya kedalam agama-agama, seakan merupakan suatu keharusan.
Karenanya, sangat mudah bagi agama untuk ikut campur dalam lalu lintas kemanusiaan, ia membuat kewajiban manusia akan tunduk, ia membuat larangan manusia akan patuh. Sebab itu agama adalah kontrol sosial horizontal sekaligus vertikal, yang didalamnya terdapat kesakralan illahiah. Selain sanksi akhirat, ajaran agama juga tak jarang mengandung sanksi dunia, yaitu dengan menetapkan sejumlah perbuatan yang jika dilakukan, dilanggar akan berakibat pada hukuman tertentu pada manusia yang disebut dengan hukum agama. Agama menjadi tatanan hukum.
Tatanan hukum agama sebagaimana tatanan hukum modern ada untuk menjamin hak-hak pemeluk agama yang mengandung demensi ilahiyah. Mereka tunduk pada aturan itu karena mereka menganggap aturan itu suci, berasal dari sesuatu yang sangat mulia, yaitu tuhan, dewa, atau totem. Dalam agama hindu India misalnya, masyarakat hindu terpecah kedalam strata-strata sosial yang pembagiannya berdasarkan legalitas agama; Brahmana, Kesatrian, Wisnu, dan Sudra. Meskipun kadangkala ada orang-orang yang merasa tatanan itu tidak adil tetapi tidak ada yang menyangkal tatanan itu bersifat suci yang legalitasnya berasal dari dewa.
Dalam agama Islam, yang bisa dijadikan contoh bagaimana agama mengatur kehidupan, terdapat larangan larangan yang dikenakan sanksi seperti membunuh, mencuri, merampok, memperkosa, dan berzina. Orang yang membunuh dengan sengaja akan di qishas (dibunuh) atau diwajibkan membayar diyat sebagai ganti dari pembunuhan, mencuri akan dipotong tangan, berzina akan dicambuk 100 kali, atau dirajam sampai mati bagi yang berzina dalam posisi sudah menikah. Selain itu, Islam juga membuat sebuah aturan acara bagaimana hukum itu dilaksanakan, seperti tentang jumlah saksi yang harus dipenuhi dan yang berwenang menjadi hakim.
Akan tetapi aturan agama adalah aturan yang hanya efektif bagi pemeluknya dan menjadi tidak berguna untuk yang lain. Sehingga ide-ide untuk menjadikan hukum agama sebagai hukum positif dalam sebuah negara akan menjadi sulit tercapai ketika terdapat banyak agama maupun aliran keyakinan (heterogen/majemuk). Pun, jika sebuah negara dengan pemeluk agama yang homogen, akan ditemui juga orang-orang yang tidak sepakat, akan tetapi hal itu tidak menjadi soal karena begitu hukum agama diundangkan menjadi hukum positif, maka hukum itu mengikat kepada semua orang.
Menjadikan hukum agama sebagai hukum positif nasional karena alasan suatu agama adalah mayoritas, atau alasan sumbangsih agama tertentu begitu besar terhadap suatu negara tidak akan menghentikan masalah yang akan muncul di kemudian hari. Hukum agama adalah hukum yang bersifat ilahiyah. Esensi hukum tersebut hanya dipahami sepenuhnya oleh pemeluknya. Ketaatan pemeluk agama pada hukum tersebut adalah bagian dari ketaatan pada tuhan (ibadat) yang balasannya adalah surga.
Dalam posisi demikian, pemeluk agama lain tidak menemukan alasan untuk mematuhi aturan agama lain, karena kepatuhan pada aturan lain berarti mereka telah mengkhianati aturan agama yang mereka anut. Setiap agama membuat pemeluk nya menjadi fanatik dengan anggapan aturan agama itulah yang paling sempurna dan paling absah.
Dengan demikian menjadi mudah dipahami kenapa tujuh kata pada sila pertama pancasila yang merepresentasikan superioritas umat Islam “Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan hukum Islam bagi pemeluknya” mendapatkan penolakan dari orang-orang di luar Islam dan tokoh-tokoh nasionalis yang berpikiran liberal. Mereka menilai jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan, maka secara terang-terangan ajaran Islam telah diutamakan dan agama lain dianggap sebagai agama kelas dua.
Dalam paham mereka, kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan bersama, walaupun tidak bisa memungkiri sumbangsih umat Islam lebih besar dari yang lainnya. Islam adalah agama mayoritas penduduk, tetapi mayoritas bukan berarti superior. Suatu ancaman masa depan bagi keutuhan Indonesia jika Islam tetap memaksakan kehendaknya pada sila pertama adalah pecahkongsi. Orang-orang Indonesia timur yang dibeberapa tempat dikuasai oleh agama selain Islam menunjukkan tanda-tanda keberatan untuk bergabung dengan Indonesia yang baru berdiri. Suatu kesadaran mulia tokoh-tokoh Islam ketika itu yaitu dengan mengikhlaskan tujuh kata pada sila pertama, sebagai pertanda bahwa Indonesia adalah sebuah negara baru dengan agama yang majemuk dan semuanya dalam tingkatan yang setara.
Jalan yang paling bijak mengakomodir agama dalam kekuasaan politik adalah dengan menjadikan agama-agama sebagai sumber moral dan sumber hukum. Agama-agama mana adalah agama yang dianut oleh penduduk setempat tanpa mengedepankan satu diantara yang lain. Dalam tatanan hukum di Indonesia, agama merupakan salah satu sumber hukum, yang artinya aturan agama bisa menjadi hukum ketika terjadi resultan politik di legeslatif, eksekutif maupun yudikatif. Akan tetapi aturan agama bisa juga dikesampingkan ketika elite politik tidak menghendakinya. Aturan agama mana yang diambil adalah aturan agama yang dihajatkan oleh pemerintah setelah melalui berbagai pertimbangan.
Kelemahan dalam sistem demikian yaitu pada tataran praktis suatu agama mempunyai potensi untuk mendominasi atau mewarnai pemerintahan ketika percaturan politik dominan dikuasai oleh suatu agama. Karenanya faktor mayoritas kadangkala tidak bisa dihindari sebagai alasan penguasaan politik. Munculnya, partai politik bersendikan agama di Indonesia, seperti Masyumi, Partai Nadlatul Ulama (pada 1952, red), Partai Keadilan sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu alasannya melalui partai-partai ini aspirasi politik yang bersendikan agama diharapkan dapat mendominasi politik kekuasaan.
Jika dilihat dalam percaturan politik kekuasaan, agama merupakan salah satu kekuatan politik yang berkehendak untuk memegang tali kekuasaan. Karena kekuasaan merupakan alat bagi agama untuk menerapkan aturannya pada umatnya dan kepada manusia-manusia lain yang diharapkan nantinya ikut menjadi pemeluk agama tersebut. Bisa dilihat, misalnya; Ajaran Kristen pernah menguasai kekaisaran Roma dalam waktu yang lama; Islam pernah menjadi sumber aturan dalam kekhalifahan (kekaisaran) Umayyah, Abbasiah dan Utoman serta kekuasaan-kekuasaan kecil lainnya; Hindu pernah menguasai nusantara melalui kerajaan Majapahit, Budha menguasai sumatra dengan kerajaan Sriwijaya.
Hal–hal tersebut diatas tidak bisa dihindari karena agama adalah aturan hidup yang menyeluruh (way of life) yang keabsahannya bersifat ilahiyah (Ketuhanan). Karenanya untuk mencapai fungsinya itu, kekuasaan adalah alat yang paling efektif. Tanpa kekuasaan peran agama sebagai aturan hidup yang menyeluruh tidak bisa tercapai. Yang artinya selama hal tersebut belum tercapai, pemeluk agama tidak bisa menjalankan aturan agamanya secara sempurna (kaffah).
Bisa dilihat misalnya dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, masih ada kelompok-kelompok yang mengusung cita-cita untuk menjadikan agama sebagai landasan negara, seperti yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia yang menuntut kekhalifahan Islam ditegakkan, dalam Kristen juga ada kelompok-kelompok ortodok yang memimpikan kerajaan Tuhan. Belum lagi kelompok-kelompok keras yang berusaha menggulingkan pemerintah dengan cara pemberontakan, seperti Darul Islam dan teroris agamis untuk kemudian diganti dengan pemerintahan yang didasarkan pada agama.
Kita menilai kelompok-kelompok semacam ini tidak pernah mempertimbangkan konflik antaragama yang akan ditimbulkan oleh ego-agama. Konflik yang ujungnya akan membawa kepada perpecahan dan permusuhan antarmasyarakat yang berbeda keyakinan. Bahwa Kerajaan Kristen Roma pernah menindas mereka yang tidak sepaham adalah fakta yang diketahui oleh orang-orang barat yang puncaknya terjadi revolusi Prancis. Kekhalifah Islam yang terkenal pada masa Ummayyah, Abbasiah, dan Otaman juga di sana-sini terdapat gesekan semacam itu yang membuat pemeluk-pemeluk agama lain menjadi masyarakat kelas dua. Konflik semacam ini tidak bisa dihindari, karena begitu agama berkuasa, ego-agama menguat dan segala sesuatu dipandang dari sudut pandang agama.
Penulis adalah peneliti di Farabi Institute Jawa Tengah.
Agama dalam Politik Kekuasaan
Oleh Teuku Saifullah
Ahli sejarah mengatakan, penemuan manusia paling tertua setelah penemuan api adalah agama. Dari mana datang agama itu masih menjadi kesanksian. Yang menganut teisme akan mengatakan agama muncul berdasarkan wahyu dari Tuhan yang disampaikan melalui utusannya. Pasangan manusia pertama adalah Adam dan Hawa yang diyakini oleh agama-agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) berasal dari surga yang diturunkan ke bumi karena melakukan dosa besar. Adam adalah pembawa wahyu pertama kepada keturunannya, setelah ia wafat muncul utusan-utusan lain dari anak cucunya.
Mereka yang ateis akan mengatakan agama muncul sebagai penenang hati manusia dan menjadi alat kontrol sosial. Penenang hati karena manusia melihat setelah ia hidup akan menemui mati. Mati menjadi tanda tanya besar karena tidak ada pengetahuan untuk mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Mereka menemukan bahwa kadangkala dalam kehidupan terdapat hal-hal janggal seperti muncul bayang-bayang aneh menakutkan yang mereka sebut dengan hantu. Konsep hantu menjadi konsep awal tentang adanya roh. Roh dipahami sebagai wujud setelah mati yang keluar dari jasad. Roh adalah kehidupan kedua, dan mempunyai kuasa untuk mendatangkan marabahaya dan kebahagian kepada manusia.
Oleh karena itu, mereka mengubur mayat dengan sebaik mungkin, ditempatkan dalam peti dan diucapkan kalimat-kalimat tertentu (mantra) agar roh tersebut bisa hidup damai dalam kehidupan keduanya. Orang-orang yang sakit seperti ayan (epilepsi), diyakini berasal dari gangguan roh jahat, sehingga perlu dibuatkan sesuatu untuk menenangkan roh. Muncullah konsep dukun, yaitu seorang yang ahli membaca kalimat-kalimat untuk roh, dan didengarkan oleh roh kata-katanya. Dari konsep demikian secara perlahan menjadi agama, dan agama itu menjadi bermacam-macam tergantung kondisi sosial setempat; muncul animisme, paganisme, pantheisme, sampai konsep yang paling komplit yaitu monoteisme.
Dan tidak dapat dielakkan bahwa sejak awal agama saling berperang, mendominasi untuk memperebutkan manusia. Persaingan antar agama itu terjadi melalui konsep keyakinan dan aturan-aturan yang ada dalam agama. Bukan soal apakah konsep keyakinan itu adalah hasil karya manusia dari generasi ke generasi sebagaimana dalam paham ateis, atau memang berasal dari Tuhan dalam teisme. Peperangan antar agama ini adalah hukum alam, sebagaimana persaingan antara kebaikan dan kejahatan. Sebabnya adalah karena manusia memiliki akal yang ia gunakan sebagai alat penilai.
Sebagian manusia menilai agama tertentu adalah jalan yang benar, karenanya ia ingin agar orang-orang terdekat dengan nya mengikuti jalan yang ia tempuh. Mulailah ia menyampaikan pesan, ajaran agama, serta propaganda untuk mempengaruhi. Sesekali mengetengahkan alasan-alasan yang logis tentang kebenaran agamanya dan dilain waktu mengungkap kelemahan-kelemahan agama lain. Di lain pihak, penganut agama lain juga mempunyai pandangan yang sama untuk menyebarkan kebenaran agama yang ia yakini. Maka terjadilah perebutan manusia oleh agama-agama, yang satu ingin mendominasi yang lain.
Melalui akal manusia, agama memainkan perannya mengatur manusia, menjadikan manusia sebagai objek untuk dikontrol. Agama membuat aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan aturan-aturan yang dilarang untuk dilakukan. Agama juga menunjukkan kepada manusia bahwa suatu perbuatan adalah kejahatan, dan yang lain adalah kebaikan. Setiap kejahatan akan diganjar dengan dosa, setiap kebaikan diganjar dengan pahala. Dosa membawa kepada neraka, yaitu tempat yang oleh agama dijadikan kediaman manusia pembangkang yang dipenuhi oleh siksa-siksa yang tiada tara. Kebaikan membawa kepada surga, yaitu tempat yang penuh dengan kenikmatan.
Dalam agama tertentu konsep surga dan neraka menjadi kabur oleh konsep reinkarnasi. Reinkarnasi adalah keyakinan bahwa roh dari manusia yang telah mati akan hidup kembali ke dunia dengan wujud baru, dimana wujud itu tergantung prilaku manusia sebelum ia mati. Jika ia selalu melakukan kejahatan bisa jadi akan berinkarnasi menjadi babi, kambing, tumbuhan atau segala sesuatu yang tidak terhormat. Sebaliknya, manusia baik akan berinkarnasi menjadi manusia baik, atau menjadi dewa. Konsep demikian bisa ditemukan dalam agama budha, hindu, dan animisme.
Dengan kata lain, agama memegang ubun-ubun manusia dengan konsep akhirat, kehidupan setelah mati. Pun, cukup logis untuk setiap manusia beragama. Manusia melihat alam yang luar biasa megahnya, yang rahasianya sulit diungkap. Ia menundukkan alam untuk memenuhi kebutuhannya, dibuatnya rumah dari pepohonan, dibuatnya kursi untuk tempat duduk, dll. Dari itu sangat logis manusia manapun akan bertanya pada dirinya bukankah seharusnya ia pun diciptakan. Dengan perangkap kodrat alam tersebut, manusia mengelompokkan diri nya kedalam agama-agama, seakan merupakan suatu keharusan.
Karenanya, sangat mudah bagi agama untuk ikut campur dalam lalu lintas kemanusiaan, ia membuat kewajiban manusia akan tunduk, ia membuat larangan manusia akan patuh. Sebab itu agama adalah kontrol sosial horizontal sekaligus vertikal, yang didalamnya terdapat kesakralan illahiah. Selain sanksi akhirat, ajaran agama juga tak jarang mengandung sanksi dunia, yaitu dengan menetapkan sejumlah perbuatan yang jika dilakukan, dilanggar akan berakibat pada hukuman tertentu pada manusia yang disebut dengan hukum agama. Agama menjadi tatanan hukum.
Tatanan hukum agama sebagaimana tatanan hukum modern ada untuk menjamin hak-hak pemeluk agama yang mengandung demensi ilahiyah. Mereka tunduk pada aturan itu karena mereka menganggap aturan itu suci, berasal dari sesuatu yang sangat mulia, yaitu tuhan, dewa, atau totem. Dalam agama hindu India misalnya, masyarakat hindu terpecah kedalam strata-strata sosial yang pembagiannya berdasarkan legalitas agama; Brahmana, Kesatrian, Wisnu, dan Sudra. Meskipun kadangkala ada orang-orang yang merasa tatanan itu tidak adil tetapi tidak ada yang menyangkal tatanan itu bersifat suci yang legalitasnya berasal dari dewa.
Dalam agama Islam, yang bisa dijadikan contoh bagaimana agama mengatur kehidupan, terdapat larangan larangan yang dikenakan sanksi seperti membunuh, mencuri, merampok, memperkosa, dan berzina. Orang yang membunuh dengan sengaja akan di qishas (dibunuh) atau diwajibkan membayar diyat sebagai ganti dari pembunuhan, mencuri akan dipotong tangan, berzina akan dicambuk 100 kali, atau dirajam sampai mati bagi yang berzina dalam posisi sudah menikah. Selain itu, Islam juga membuat sebuah aturan acara bagaimana hukum itu dilaksanakan, seperti tentang jumlah saksi yang harus dipenuhi dan yang berwenang menjadi hakim.
Akan tetapi aturan agama adalah aturan yang hanya efektif bagi pemeluknya dan menjadi tidak berguna untuk yang lain. Sehingga ide-ide untuk menjadikan hukum agama sebagai hukum positif dalam sebuah negara akan menjadi sulit tercapai ketika terdapat banyak agama maupun aliran keyakinan (heterogen/majemuk). Pun, jika sebuah negara dengan pemeluk agama yang homogen, akan ditemui juga orang-orang yang tidak sepakat, akan tetapi hal itu tidak menjadi soal karena begitu hukum agama diundangkan menjadi hukum positif, maka hukum itu mengikat kepada semua orang.
Menjadikan hukum agama sebagai hukum positif nasional karena alasan suatu agama adalah mayoritas, atau alasan sumbangsih agama tertentu begitu besar terhadap suatu negara tidak akan menghentikan masalah yang akan muncul di kemudian hari. Hukum agama adalah hukum yang bersifat ilahiyah. Esensi hukum tersebut hanya dipahami sepenuhnya oleh pemeluknya. Ketaatan pemeluk agama pada hukum tersebut adalah bagian dari ketaatan pada tuhan (ibadat) yang balasannya adalah surga.
Dalam posisi demikian, pemeluk agama lain tidak menemukan alasan untuk mematuhi aturan agama lain, karena kepatuhan pada aturan lain berarti mereka telah mengkhianati aturan agama yang mereka anut. Setiap agama membuat pemeluk nya menjadi fanatik dengan anggapan aturan agama itulah yang paling sempurna dan paling absah.
Dengan demikian menjadi mudah dipahami kenapa tujuh kata pada sila pertama pancasila yang merepresentasikan superioritas umat Islam “Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan hukum Islam bagi pemeluknya” mendapatkan penolakan dari orang-orang di luar Islam dan tokoh-tokoh nasionalis yang berpikiran liberal. Mereka menilai jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan, maka secara terang-terangan ajaran Islam telah diutamakan dan agama lain dianggap sebagai agama kelas dua.
Dalam paham mereka, kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan bersama, walaupun tidak bisa memungkiri sumbangsih umat Islam lebih besar dari yang lainnya. Islam adalah agama mayoritas penduduk, tetapi mayoritas bukan berarti superior. Suatu ancaman masa depan bagi keutuhan Indonesia jika Islam tetap memaksakan kehendaknya pada sila pertama adalah pecahkongsi. Orang-orang Indonesia timur yang dibeberapa tempat dikuasai oleh agama selain Islam menunjukkan tanda-tanda keberatan untuk bergabung dengan Indonesia yang baru berdiri. Suatu kesadaran mulia tokoh-tokoh Islam ketika itu yaitu dengan mengikhlaskan tujuh kata pada sila pertama, sebagai pertanda bahwa Indonesia adalah sebuah negara baru dengan agama yang majemuk dan semuanya dalam tingkatan yang setara.
Jalan yang paling bijak mengakomodir agama dalam kekuasaan politik adalah dengan menjadikan agama-agama sebagai sumber moral dan sumber hukum. Agama-agama mana adalah agama yang dianut oleh penduduk setempat tanpa mengedepankan satu diantara yang lain. Dalam tatanan hukum di Indonesia, agama merupakan salah satu sumber hukum, yang artinya aturan agama bisa menjadi hukum ketika terjadi resultan politik di legeslatif, eksekutif maupun yudikatif. Akan tetapi aturan agama bisa juga dikesampingkan ketika elite politik tidak menghendakinya. Aturan agama mana yang diambil adalah aturan agama yang dihajatkan oleh pemerintah setelah melalui berbagai pertimbangan.
Kelemahan dalam sistem demikian yaitu pada tataran praktis suatu agama mempunyai potensi untuk mendominasi atau mewarnai pemerintahan ketika percaturan politik dominan dikuasai oleh suatu agama. Karenanya faktor mayoritas kadangkala tidak bisa dihindari sebagai alasan penguasaan politik. Munculnya, partai politik bersendikan agama di Indonesia, seperti Masyumi, Partai Nadlatul Ulama (pada 1952, red), Partai Keadilan sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu alasannya melalui partai-partai ini aspirasi politik yang bersendikan agama diharapkan dapat mendominasi politik kekuasaan.
Jika dilihat dalam percaturan politik kekuasaan, agama merupakan salah satu kekuatan politik yang berkehendak untuk memegang tali kekuasaan. Karena kekuasaan merupakan alat bagi agama untuk menerapkan aturannya pada umatnya dan kepada manusia-manusia lain yang diharapkan nantinya ikut menjadi pemeluk agama tersebut. Bisa dilihat, misalnya; Ajaran Kristen pernah menguasai kekaisaran Roma dalam waktu yang lama; Islam pernah menjadi sumber aturan dalam kekhalifahan (kekaisaran) Umayyah, Abbasiah dan Utoman serta kekuasaan-kekuasaan kecil lainnya; Hindu pernah menguasai nusantara melalui kerajaan Majapahit, Budha menguasai sumatra dengan kerajaan Sriwijaya.
Hal–hal tersebut diatas tidak bisa dihindari karena agama adalah aturan hidup yang menyeluruh (way of life) yang keabsahannya bersifat ilahiyah (Ketuhanan). Karenanya untuk mencapai fungsinya itu, kekuasaan adalah alat yang paling efektif. Tanpa kekuasaan peran agama sebagai aturan hidup yang menyeluruh tidak bisa tercapai. Yang artinya selama hal tersebut belum tercapai, pemeluk agama tidak bisa menjalankan aturan agamanya secara sempurna (kaffah).
Bisa dilihat misalnya dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, masih ada kelompok-kelompok yang mengusung cita-cita untuk menjadikan agama sebagai landasan negara, seperti yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia yang menuntut kekhalifahan Islam ditegakkan, dalam Kristen juga ada kelompok-kelompok ortodok yang memimpikan kerajaan Tuhan. Belum lagi kelompok-kelompok keras yang berusaha menggulingkan pemerintah dengan cara pemberontakan, seperti Darul Islam dan teroris agamis untuk kemudian diganti dengan pemerintahan yang didasarkan pada agama.
Kita menilai kelompok-kelompok semacam ini tidak pernah mempertimbangkan konflik antaragama yang akan ditimbulkan oleh ego-agama. Konflik yang ujungnya akan membawa kepada perpecahan dan permusuhan antarmasyarakat yang berbeda keyakinan. Bahwa Kerajaan Kristen Roma pernah menindas mereka yang tidak sepaham adalah fakta yang diketahui oleh orang-orang barat yang puncaknya terjadi revolusi Prancis. Kekhalifah Islam yang terkenal pada masa Ummayyah, Abbasiah, dan Otaman juga di sana-sini terdapat gesekan semacam itu yang membuat pemeluk-pemeluk agama lain menjadi masyarakat kelas dua. Konflik semacam ini tidak bisa dihindari, karena begitu agama berkuasa, ego-agama menguat dan segala sesuatu dipandang dari sudut pandang agama