Untukmu PMII
Gendang Konfercab PMII sudah ditabuh sebagai tanda dimulainya ritual penting untuk memilih pemimpin yang baru menggantikan kepemimpinan yang telah “usang”. Dinamika sebagai bumbu penyedap rasa dalam berproses pendewasaan kritis pun masih dinanti. Terlepas dari hal itu semua, terdapat hal yang substansial yang perlu dipikirkan secara berjamaah, yaitu organisasi PMII dan kader sebagai basis utama pergerakan PMII. Dalam konteks pemilihan pemimpin, kader cenderung terjebak pada opini-opini umum tanpa tuan yang terkadang menjerumuskan prinsip kepribadiannya dalam menentukan ketua umum, maka yang terjadi adalah kader terhegemoni oleh opini tertentu dan bersikap tanpa arah tujuan yang jelas dengan tanpa mempertimbangkan kriteria seorang pemimpin yang pas untuk PMII maupun Jepara.
Ada logika terbalik (meminjam istilah Ferdinand Hindiarto) yang dilakukan oleh kader PMII dalam setiap memilih pemimpin, baik ketua umum PC, BSO, PK maupun Rayon. Kader tidak pernah memikirkan secara matang dan menganalisis secara kritis kriteria kompetensi kepemimpinan yang pas, akan tetapi lebih pada sebatas memandang siapa calon tersebut dalam arti kedekatan emosional. Akibatnya kader tentu terpeleset karena pertimbangannya hanya terpaku pada tampilan luar seorang calon.
Richard L Hughes, Robert C Ginnet dan Gardon J Churphy dalam buku Leadership: Enhanching The Lesson of exsperience (2010) berpendapat bahwa pemimpin tidak boleh dipilih hanya berdasarkan kriteria karakter tertentu. Kepemimpinan adalah proses yang melibatkan interaksi tiga hal, yaitu: pemimpin, pengikut dan situasi. Karakter pemimpin dengan konsep tangan besi atau otoriter belum tentu tidak baik, namun masih bergantung pada bagaimana situasi dan keadaan pengikutnya. Begitu juga sebaliknya, pemimpin yang demokratis juga belum tentu efektif karena masih bergantung pada posisi pengikut dan situasinya. Maka logika berpikir yang sederhana dalam memilih pemimpin adalah merumuskan kriteria kompetensi pemimpin yang pas dengan karakteristik dan situasi pada organisasi maupun daerah (Ferdinand H: SM).
Kembali pada konsep Richard L Hughes dkk, setidaknya terdapat empat kriteria yang sepatutnya menjadi modal mendasar bagi calon pemimpin, siapaun itu. Pertama adalah pemimpin yang berintegritas, artinya mampu menjunjung nilai luhur, kejujuran dan kebenaran dalam tindakan. Kedua pemimpin yang mampu menerima perbedaan dan memiliki toleransi terhadap keberagamaan dalam mensikapi kemajmukan sikap, pola pikir dan tuntutan kader. Ketiga adalah pemimpin yang mampu berdialog dan mampu memposisikan diri, dan keempat adalah pemimpin yang berani dan tegas dalam mengambil sikap dan keputusan, terlebih menghadapi tahun 2014 sebagai tahun politik. Jika pemimpin tidak mampu bersikap tegas dan berani maka yang terjadi adalah PMII akan terombang ambing oleh situasi perpolitikan daerah dan nasional tanpa memiliki idealisme pergerakan dan arah pikir yang jelas sebagai benteng pertahanan atas serangan partai politik dan kepentingan orang tertentu.
Dalam rangka menakar kepemimpinan seseorang dapat menggunakan suatu konsep yang dikemukakan oleh Stephen P Robbins seorang profesor manajemen dari San Diego State University dalam bukunya the trurh about managing poeple (2008), Robbins menyatakan bahwa: “the best predictor of a personis future behavior is his past behavior ”. Kita dapat meramalkan perilaku seorang pemimpin dengan melihat perilaku-perilaku yang bersangkutan selama ini. Konsep ini sangat mudah dipahami dan digunakan sebagai dasar analisis karena setiap orang memiliki perilaku otentik di masa lalu, sebelum seseorang menjabat posisi tertentu. Perilaku yang tidak dibuat-buat demi pencitraan.
Gery Yulk dalam buku Leadership in Organizationa (2010) merumuskan variabel-variabel kunci dalam kepemimpinan, yaitu: integrity, personality & value, skill & expertise, confidence & optimism, influence tactics dan attribution abaout followers.
1. Yulk mengatakan bahwa integrity adalah kejujuran atau satunya kata dan tidakan. Jika mengunakan konsep Robbins maka kita dapat melihat track record dimasa lalu dan selama berkarir seorang pemimpin.
2. Variabel ini dalam ilmu psikologi terbentuk sejak seorang sejak dalam masa kanak-kanak sampai dewasa awal.
3. Progress karir organisasi atau politik seseorang.
4. Rasa percaya diri yang tinggi dan optimisme yang kuat.
5. Kemampuan mempengaruhi orang lain dengan cara berpikir rasional ilmiah dan persuasif dalam menyampaikan pendapat.
6. Seorang pemimpin memandang rakyatnya, memberi empati dan perhatian pada masyarakat. . (Ferdinand H, SM:10/06/2013).
Berdasarkan konsep analisis di atas, jika kita menakar kepemimpinan PMII selama satu periode kedepan maka kita dapat mempunyai gambaran bagaimana kepemimpinan selanjutnya. Apakah pas untuk PMII secara mikro dan Jepara secara makro.
Semua rencana dan konsep di atas merupakan gambaran salah satu jalan berijtihad dalam rangka mencari sosok pemimpin yang pas untuk keadaan kader maupun situasi PMII dan Jepara. Tujuannya adalah demi terselenggaranya harmonisasi dinamika organisasi dan persoalan kedaerahan. Artinya ketua umum PC PMII Jepara kedepan harus mampu membaca situasi organisasi dan daerah secara adil dan mampu memposisikan diri ketika organisasi dan Pemerintah Daerah dalam persimpangan jalan ketidakpastian. Pengambilan posisi sikap dapat dilakukan dengan merencanakan program-program kerja organisasi strategis dan ikut serta mengadvokasi, memonitoring, dan tetap mengkritisi kinerja Pemerintah Daerah dalam situasi bagaimanapun.
Untuk mendapatkan sosok idealitas pemimpin yang nantinya dapat diterima oleh kader sebagai wakil yang merepresentasikan organisasi PMII dan Pemerintah Daerah sebagai wujud kemajemukan masyarakat Jepara maka ada banyak hal yang harus dilakukan sebagai bentuk proses untuk mencapai idealitas tersebut.
Tidak terlepas dari agenda besar tersebut, kini anak bangsa lagi-lagi dihadapkan dengan permasalahan yang kian kompleks dan tak tentu arah ujung penyelesaiaanya yang memaksa masyarakat ikut serta terseret kedalam pusaran persoalan bangsa yang semakin dalam. Akhirnya, mereka yang tak mampu bertahan dan minim persiapan iktelektual maupun skil akan terlempar jauh tertinggal, sedangkan yang sedikit mempunyai kekuasaan semakin jumawa dengan apa yang dperoleh hingga akhirnya timbullah sentiment social.
Dalam rangka merespon segala permasalahan yang timbul dalam realitas sosial, maka kemudian PMII sebagai organisasi sosial harus mampu memposisikan dirinya sebagai agen perubahan sosial (agent of sosial chenge), agen control sosial (agent of social control), baik di era 1908, 1945, 1966 maupun era reformasi tahun 1998. Pada intinya adalah bagaimana PMII mampu memberi kontribusi riil terhadap keberlangsungan dinamisasi serta harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tercapainya Negara Indonesia yang sejahtera dan demokratis tentu tanpa menafikan apa yang terjadi dalam diri internal kader.
Berangkat dari kerangka pikir serta mencoba bersikap tanggap atas realitas diatas maka PC. PMII Jepara bermaksud ikut serta dalam membangun keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis sebagai bentuk pengamalan tri dharma perguruan tinggi poin ketiga.
Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka dan berdaulat.
Tidak terlepas dari cita-cita luhur tersebut, kiranya masih banyak permasalahan social yang masih butuh perhatian serius dari aparatur Negara, kaum intelektual maupun masyarakat secara luas. Pertentangan antar umat beragama yang sebenarnya menjadi permasalahn klasik hingga sekarang belum mampu diselesaikan dengan tuntas dan bijaksana oleh pemerintah. Justru seringkali permasalahan antar agama tersulut kembali hanya dikarenakan permasalahan sepele. Problem social lain adalah adanya praktik politik yang tidak bersih, jujur dan terbuka yang hamper dilakukan oleh elit politik demi melanggengkan kepentingan pribadi untuk meraih kekuasaan. Pada akhirnya pelanggaran etika politik pun kerap kali terjadi meskipun lembaga pengawas terbentuk. Kedua realitas social tersebut hanyalah gambaran sempit yang kiranya dapat menjadi wakil atas kompleksitas permasalahan yang melanda bangsa Indonesia selama ini yang tentu kiranya segera membutuhkan problem solving agar apa yang menjadi persoalan segera terselesaikan dalam rangka menciptakan Negara sejahtera dan demokratis.
ibit Term of Reference (ToR) Seminar Regional kofercab, 2013