Rabu, 24 September 2014

PENGUKUHAN PB.PMII MASA KHIDMAT 2014-2016

PMII Harus Kembali ke Kampus, Masjid dan Pesantren



Jakarta, Anggota Majelis Pembina Nasional (Mabinas) PMII, Ali Masykur Musa memimpin pengukuhan kepengurusan PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) masa periode 2014-2016.

Pengukuhan secara resmi ini di gelar di aula Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya No 28A, Jakarta, Senin (22/9) malam.

Usai mengucapkan sumpah jabatan, Ketua Umum baru PB PMII, Aminuddin Ma’rif menegaskan visinya untuk merevitalisasi PMII sebagai basis Islam Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Tanah Air. Menurutnya, PMII mesti senantiasa meneguhkan dirinya sebagai pengawal Islam moderat yang senantiasa setia terhadap NKRI.

“PMII juga harus kembali ke kampus, PMII harus kembali ke pesantren, PMII harus kembali ke masjid, yang selama ini pintu-pintu tersebut kita tinggalkan,” imbuhnya di hadapan ratusan kader dan para alumni PMII yang hadir.

Turut menyaksikan pelantikan itu, antara lain, salah satu pendiri PMII KH Nuril Huda, Sekretaris Jendral PBNU H Marsyudi Syuhud, para mantan ketua umum PMII, seperti KH Ahmad Bagja, Saiful Bahri Ansori, dan beberapa mantan pengurus lama yang kini mengemban amanah di berbagai profesi.

Pada kesempatan yang sama, Aminuddin melantik kepengurusan baru Pengurus Besar Korps PMII Putri (Kopri) periode 2014-2016 yang diketuai Ai Rahmayanti. Kopri merupakan lembaga semi otonom PMII yang khusus diisi para kader perempuan PMII.

Dalam sambutannya, Sekjen PBNU H Marsudi Syuhud mengingatkan PMII untuk menjaga soliditas organisasi dengan meningkatkan kepatuhan kepada pimpinan. Ia juga berharap PMII akan membawa perubahan, terutama dalam turut mengisi mengelola negara ini.

“PMII mesti hijrah, melakukan perubahan-perubahan, dari tidak berani menjadi berani memegang republik ini,” tuturnya di depan forum yang dihadiri pula para pimpinan organisasi kepemudaan seperti IMM, KAMMI, GMNI, HMI, dan PMKRI. (gus)

RUU Pilkada

RUU Pilkada dan Bahaya Timokrasi


NAVIGASI dari arah perjalanan (trajectory) demokratisasi di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1999, menunjukkan pasang surut secara bergantian. Ranah politik menjadi terbuka dan pemilu berlangsung dengan lebih bebas, kompetitif dan relatif aman. Hanya saja praktek kecurangan, manipulasi, dan intimidasi kerap terjadi di beberapa tempat dan bermetamorfosis menyesuaikan dengan situasi dan sistem pemilu (Djani dan Vermonte, 2013).

Selama 16 tahun pasca Soeharto, pemilu telah menjelma menjadi ajang kontestasi yang ketat, sengit, dan memakan tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Kekurangan dan penyimpangan pada pelaksanaan pemilu langsung, baik legislatif maupun eksekutif nasional dan daerah, berlangsung semakin rumit dan masif. Sistem pemilu menjadi fokus perhatian yang kerap dibongkar pasang; salah satunya, adalah pemilihan kepala daerah yang dipandang masih belum ideal. Pemikiran untuk mengevaluasi sistem pemilu langsung untuk Kepala Daerah, telah menjadi diskursus beberapa tahun terakhir. Hanya saja, eskalasinya memuncak pada kuartal ketiga tahun 2014, pasca dilangsungkannya pemilihan Presiden. Perdebatan memuncak menjelang penetapan RUU Pilkada dipenghujung masa bakti DPR periode 2009-2014. Blok mayoritas di DPR (dan juga pemerintah), mengusung gagasan pemilihan Walikota dan Bupati dikembalikan ke tangan DPRD. Sontak penolakan datang dari partai-partai yang berkoalisi mengusung Jokowi-JK pada pilpres lalu dan juga organisasi non pemerintah.

Beragam alasan dikemukakan oleh kedua kubu. Inti perdebatan pada efek demokratisasi dari pemiihan langsung jika dibandingkan mekanisme tidak lagsung, terpasungnya hak politik warga, efisiensi biaya pemilukada, potensi konflik pasca pemungutan dan perhitungan suara, dan banyaknya kepala daerah yang terpilih secara langsung ternyata terlibat dalam skandal korupsi. Di tengah meruncingnya perdebatan ‘untung-rugi’nya pemilihan langsung dan tidak langsung, ada usulan ‘jalan tengah’ seperti yang diutarakan oleh Miko Kamal dengan ‘model Jakarta’nya.[1]

Dalam pandangan penulis, sistem pemilu apapun mempunyai aspek positif dan negatif. Sistem perwakilan (tidak langsung) di Eropa Barat, terbukti berfungsi baik dan mendatangkan kesejahteraan sosial. Sistem langsung dalam pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Brazil, Uruguay, Venezuela pun berfungsi tak kalah menyakinkan jika disandingkan dengan praktek di Eropa Barat. Di Indonesia sendiri, pemilihan tidak langsung dan langsung memiliki segudang kelemahan, namun juga menghasilkan ‘champion’ walau harus diakui mereka ini minoritas dan anomali.

 Pendalaman Demokrasi Oligarki

Krisis moneter tahun 1998 membawa dampak signifikan terhadap para konglomerat dan penguasa (birokrasi kapitalis/kabir), dimana penguasaan atau dominasi ekonomi mereka (selanjutnya penulis menyebutnya sebagai oligarki[2]) terganggu akibat perubahan struktural sosio-ekonomi dan politik. Akibatnya, para oligarki harus mengonsolidasikan aset ekonomi dan menyesuaikan diri dengan sistem politik yang baru. Agar survive dari badai krismon, para oligarki harus mencari aliansi dengan penguasa politik baru (pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati) demi melindungi asset ekonomi dan kepentingan bisnis mereka (Chua, 2009; Robison dan Hadiz, 2004). Sebagian konglomerat mendapatkan ‘subsidi’ Negara dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sehingga asset dan bisnis mereka dapat diselamatkan.[3]

Ilustrasi di atas menggambarkan kemampuan para oligarki dalam mengamankan kepentingan bisnis dan asset ekonomi mereka dengan cara menyesuaikan diri dalam sistem politik pasca Soeharto. Walau awalnya para konglomerat ini merasa terancam dan gamang dengan rule of the game demokrasi, tetapi begitu mereka memahami logika dari ‘permainan’ politik, maka jalan yang ditempuh adalah beradaptasi dengan situasi tersebut (Chua, 2009). Bahkan, beberapa taipan kemudian terlibat aktif dalam politik bahkan menjadi pengurus partai politik[5] atau dinominasikan sebagai kandidat.

Kecenderungan demokrasi diambil alih oleh para oligarki telah dikemukakan oleh beberapa ilmuwan politik (Hadiz, 2010; Winters, 2011). Hal ini, salah satunya, diakibatkan, menurut Olle Tornquist (2006), bahwa aktor pro-demokrasi Indonesia adalah demokrat mengambang karena tidak memiliki pijakan fondasi yang kuat meliputi agenda dan isu, basis gerakan dan sekutu politik. Kristian Stokke and Olle Tornquist mengatakan “those with power tend to dominant and manipulate democratic institutions while those who are marginalized have insufficient power to use” (Stokke and Tornquist, 2013). Secara menyakinkan Jeffrey Winters mengatakan “extreme wealth has a profound influence on the capacity of oligarchs to defend and advance their core interests…. significantly more versatile and potent than formal or procedural power resources such as equal voting rights” (Winters 2011: xiii&18). Singkatnya, dengan kekuatan finansialnya oligarki mampu menguasai ranah dan posisi politik formal.

Tak dapat dipungkiri demokrasi Indonesia telah bertransformasi menjadi oligarchy democracy. Para oligarki menggunakan politik elektoral untuk mendapatkan akses atas sumberdaya ekonomi dan proteksi politik. Keterlibatan para oligarki dalam pemilu merupakan manifestasi dari ‘direct rule’ dengan menguasai jabatan publik atau ‘indirect rule’ dimana oligarki menjalin hubungan simbiosis dengan aparatus negara atau mempengaruhi mereka (Winters, 2011: 22-3). Akan tetapi, di tengah pesimisme akan masa depan demokratisasi, pemilu 2014 dan juga beberapa pemilihan kepala daerah memberi sinyal akan keterbatasan dominasi oligarki di ranah politik.

Perubahan politik – pemilu multipartai dan desentralisasi – membuka peluang kontestasi elektoral secara luas. Berbeda dengan zaman Orde Baru (Orba) dimana para oligarki cukup menjaga loyalitas kepada rezim berkuasa, pada kondisi pemilu yang kompetitif mengubah karakter dan strategi oligarki dalam menjalin relasi dengan kekuasaan. Agar tetap ‘berkuasa’, baik secara direct maupun indirect, aturan main pemilu berlaku umum: kontestan wajib mengumpulkan suara pemilih sebanyak mungkin. Hal ini membuat oligarki tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan klientelistik, intimidasi atau bahkan jual-beli suara semata, tetapi harus menjalin ‘kerjasama’ dengan kelompok warga atau masyarakat kelas bawah dan gerakan sosial (Manor, 2013; Tornquist, 2013).

Tak ayal lagi beberapa oligarki mengusung agenda atau isu populis demi meraih dukungan konstituen. Pengalaman di Thailand menunjukkan, kondisi dimana kekuatan politik oligarki relatif sama kuat sehingga memaksa kelompok Thaksin mengusung program populis dan berkolaborasi dengan kelas sosial tertentu (Hewison and Kitilangrap, 2009). Begitu pun di India, dimana elit dominan harus mengadopsi isu kampanye populis demi mendapatkan dukungan pemilih kelas bawah (Manor, 2013). Ini menandakan, para oligarki, walaupun memiliki sumberdaya finansial, diharuskan merancang program kampanye inovatif, termasuk mengusung kebijakan populis agar memperbesar dukungan politik dan perolehan suara (Holmes 1993: 8&46). Agenda populisme ini membuka ruang negosiasi antara oligarki dengan masyarakat kelas bawah dan civil society serta mengusung agenda dan kebijakan perubahan radikal.

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Kontestasi pemilu dan pemilukada membuat elit politik mulai melirik agenda populis. Pemaparan dari Pratikno dan Lay (2013), dengan mengambil studi kasus kota Solo, jelas memperlihatkan kemungkinan terjadinya penguatan dan pendalaman demokrasi ke arah subtansial dan partisipatif. Pada pemilu Presiden 2014, kondisi ini berlanjut dimana kedua kubu menjalin ‘kerjasama’ dengan kelompok masyarakat dan gerakan sosial demi mendapatkan dukungan suara. Prabowo membuka dialog dengan kelompok tani, bahkan ia mengambil alih kepemimpinan HKTI. Prabowo juga mendekati serikat buruh yang berbasis di Bekasi (FSPMI). Serikat buruh metal ini secara terbuka mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo-Hatta saat peringatan Hari Buruh (May day) di Gelora Bung Karno, yang dihadiri puluhan ribu anggota serikat buruh (Tjandra, 2014). Pasangan Jokowi-JK pun menjalin hubungan dengan kelompok civil society dan ormas progresif yang membentuk organisasi-organisasi relawan, seperti di antaranya, Bara-JP, Projo dan Seknas Jokowi. Alhasil, kedua kubu mengusung serangkaian agenda populis seperti reforma agrarian (land reform), subsidi untuk petani dan nelayan, menaikkan kesejahteraan dan kepastian ketenagakerjaan, pembukaan sawah dan pembangunan infrastuktur irigasi, program pemberdayaan desa, hingga pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

 ruu2Foto diambil dari koransuararakyat.org

Realita ini menyadarkan beberapa oligarki bahwa politik elektoral secara langsung membuat kekuatan finansial mereka tidak menjamin kemenangan pemilu. Para oligarki harus membuka ruang negosiasi dan mengadopsi agenda-agenda populis yang mungkin dapat bertolak belakang atau minimal meredam kepentingan ekonomi mereka. Tambahan lagi, seorang kandidat yang diusung oleh para oligarki dapat berbalik badan dan menantang kelompok elit ini karena memperoleh legitimasi dukungan dari pemilih. Kasus Jokowi, Basuki TP, Risma dan kepala daerah lain yang dianggap progresif adalah contoh konkrit hadirnya pemimpin yang memperoleh legitimasi politik dari public dibandingkan merasa berhutang kepada para oligarki.

Tidak mengherankan jika kemudian para oligarki ingin mengubah kembali pemilihan kepala daerah di tangan DPRD. Dengan mekanisme tidak langsung, para oligarki dapat ‘menyaring’ calon yang loyal ataupun menunjuk salah seorang dari klan oligarki. Lebih jauh, pemilihan melalui DPRD membuat kepala daerah terpilih tidak memiliki legitimasi dukungan suara pemilih melainkan hutang budi kepada partai politik.

Karenanya, benturan kepentingan antara pendukung pemilu ‘langsung dan tidak langsung’ sebaiknya dipahami, tidak dari aspek mekanistik sistem pemilu, implikasinya terhadap demokratisasi atau ekses negatif yang ditimbulkan, tetapi dalam konteks pergulatan (struggle) untuk mendominasi ranah publik dan sumberdaya ekonomi. Meminjam kalimat Gramsci bahwa pergulatan ini adalah manifestasi “a dialectical understanding of the temporal pattern of contested hegemony” (Gramsci 1971: 178). Perdebatan tentang pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD, tidak bisa hanya dipandang akibat dari gonjang ganjing pemilu Presiden 2014, tetapi merupakan kelanjutan proses yang membentuk dan terbentuk (shape and reshape) akibat perubahan struktural sebelumnya. Episode 2014, sejatinya merupakan kelanjutan dari reposisi pasca krisis moneter (krismon) 1998. Upaya untuk kembali mendominasi ranah politik dan ekonomi oleh oligarki, dikemas dalam gagasan mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Tujuannya agar proses politik dapat dikontrol oleh oligarki (seperti pada masa Orde Baru). Model pemerintahan di tangan segelintir orang kaya atau oligarki disebut sebagai Timokrasi.

 Bahaya Timocracy

Jika rencana pemilihan kepala daerah (walikota dan bupati) kembali di tangan DPRD, maka kita menghadapi masa surut demokratisasi. Pencapaian mendorong agenda-agenda publik diawal reformasi, menurut Arief Budiman (2001), lebih dikarenakan melemahnya negara, juga para oligarki, dikarenakan mereka disibukkan dengan mengamankan asset dan jaringan bisnis. Kesibukan para oligarki menata ulang jaringan politik dan bisnis membuka ruang bagi masyarakat sipil dalam menekan dan mendorong perubahan. Akan tetapi, sewaktu rekonsolidasi kekuasaan dan dominasi atas (lembaga) negara kembali dalam kontrol oligarki, tekanan dari publik, terutama dari CSOs, menjadi kurang dampaknya. Rampungnya konsolidasi kelompok politik dan bisnis berimplikasi pada terbatasnya ruang politik (political space) bagi masyarakat sipil.

Jika pemilihan kepala daerah melalui lembaga perwakilan daerah disahkan, maka konsolidasi kekuasaan para oligarki akan semakin menguat dan mengakar. Mereka akan leluasa membangun dan memperluas ‘kerajaannya’ melalui penguasaan ranah politik (jabatan publik), sehingga menjamin akses dan alokasi sumberdaya ekonomi atau sekedar mencari rente dari sumberdaya publik. Bergemingnya pengaruh dan dominasi oligarki pada ranah politik dan sosio-ekonomi, mengindikasikan surut ataupun kemunduran dalam penataan struktur politik dan ekonomi secara lebih adil dan merata.


Hal ini juga menunjukkan bahwa agenda perubaha yang diusung civil society, tidak membidik dan menyentuh fondasi oligarki (Robison dan Hadiz, 2004; Winters, 2011). Perubahan yang terjadi tidak melumpuhkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi mereka sehingga kedua hal tersebut tetap dalam genggaman mereka. Kekuasaan menjadi predatoris karena tetap saja menjarah sumberdaya (ekonomi), memanipulasi dana publik untuk kepentingan sempit. Sudah saatnya fokus dari agenda perubahan yang diusung kelompok civil society ditujukan untuk merombak pilar para oligarki: partai politik dan monopoli sumberdaya ekonomi!***

Arah Gerakan Mahasiswa Berangkat dari Mana dan Menuju ke Mana

Arah Gerakan Mahasiswa Berangkat dari Mana dan Menuju ke Mana


AWAL kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadang terlewatkan di antara sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Artikel ini memiliki tujuan untuk melihat kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi gerakan ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.

Gerakan mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selalu didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan dan menina-bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut adanya posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya berada di tengah masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang posisi mahasiswa secara teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam ’mengabdikan´dirinya pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saat ini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya. Bukan untuk menjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku, tetapi sebagai landasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan. Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan Lenin, ‘Tanpa teori yang revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’

Belajar dari sejarah

Gerakan mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan ini telah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas. Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya dengan locus spesifik Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesia merupakan bagian dari kesejarahan gerakan mahasiswa secara luas di dunia.

Dalam sejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda dalam masa-masa tertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal momentum itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu dilakukan mahasiswa Indonesia saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa itu dengan menyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa demikian, karena perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan bermaksud meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.

Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnya jelas berbeda, tetapi pola-pola pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untuk dilihat. Berangkat dari tesis bahwa gerakan mahasiswa bersifat historis, maka belajar dari masa lalu adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebut secara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswa tidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telah terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan analisa.

Mahasiswa Amerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana mahasiswa berperan dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali dari adanya Manifesto Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto Cordoba menjadi deklarasi hak mahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak itu mahasiswa di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam kehidupan politik. Manifesto Cordoba adalah deklarasi mahasiswa yang menuntut adanya otonomi akademik universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno). Hal ini berangkat dari adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikan ruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang ketakutan bila melakukan perubahan. Hal yang dinyatakan dalam manifesto tersebut salah satunya, ‘Kami ingin menghapus dari organisasi universitas konsep tentang otoritas yang kuno dan barbar, yang menjadikan universitas benteng pertahanan tirani yang absurd.’[1]

Program reformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak pandangan konservatif akan universitas, dengan memberikan independensi penuh pada universitas dari kooptasi kepentingan politik pemerintah, juga memberikan kesempatan mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dalam kampus. Hal ini merupakan refleksi atas kondisi sosial politis di Amerika Latin yang dikuasai pemerintahan otoriter, yang jangkauan kekuasaannys juga masuk ke dalam ranah akademik universitas. Kondisi yang demikian kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa secara bertahap memperluas tuntutannya pada hal yang lebih bersifat politis, yaitu perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom, perlu penghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut dilakukan dengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan petani sehingga dalam kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri. Dalam jangka waktu 20 tahun, perlawanan mahasiswa dari Argentina ini menyebar ke seluruh Amerika Latin. Di Peru tahun 1919, Chili 1920, Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan Bolivia 1928, Meksiko 1929, Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952. Setiap negara memiliki karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilan dan durasi pencapaiannya pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan menggulingkan rezim otoriter, ada juga yang hanya setengah-setengah dengan mendapatkan otonomi sementara. Namun setidaknya, mahasiswa Amerika Latin mengajarkan kepada kita jika tuntutan akademis dan aktivitas politik merupakan dua hal yang saling melengkapi, bukan saling bertentangan.

Di Italia perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil mengontrol aktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui kegiatan-kegiatannya sendiri. Selama sebulan kampus berhasil di duduki (27 November 1967-27 Desember 1967), sebelum aparat menyerbu kampus tersebut.  Sejak itu perlawanan meluas ke beberapa kota sepanjang jazirah Italia. Alasan utama mahasiswa melakukan perlawanan adalah karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisi pedagogi dan kurikulum menjadikan profesor-profesor di sana dapat mengajar dengan seenaknya sendiri, misalnya, para professor di sana memberi kuliah dengan diktat yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya diambil dari diktat tersebut. Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar dari sumber lainnya. Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti silabus kuliah ilmu politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ. Rousseau. Keterbatasan dan kekakuan akademis ini membuat mahasiswa ‘terkurung’ dalam kegiatan akademisnya sendiri. Oleh karena itu, agenda utama perlawanan mereka adalah kritikan atas kondisi akademis tersebut. Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswa berusaha memperluas jangkauannya dengan keluar dari Turin, tentu dengan mengubah tuntutan secara praktis menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannya jelas agar diikuti seluruh mahasiswa di Italia. Efeknya dalam dua bulan (Januari-Februari 1968), gerakan mahasiswa ini meluas hingga seluruh kota di  Italia. Tidak hanya terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi juga pelajar dan para buruh FIAT. Hal ini kemudian menyita perhatian publik dan membuat pemerintah tak tinggal diam. Represivitas terjadi dalam menghentikan perlawanan ini, sehingga setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagai tuduhan. Kenyataan gerakan di Italia ini kemudian berhasil mengubah struktur akademis dan memaksa para professor melihat kembali kurikulum di dalam kampus. Juga mengubah kebijakan pendidikan nasional ke arah yang lebih egaliter dan terbuka.[2]

Gerakan mahasiswa di Spanyol dilatarbelakangi dua hal, yaitu krisis dan perlawanan terbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal Universitas. Secara umum, mahasiswa merupakan entitas yang kecil di Spanyol pada tahun 1965.[3] Kondisi ini disebabkan oleh mahalnya biaya kampus dan sedikitnya subsidi dari pemerintah, sehingga mahasiswa dari kalangan buruh dan petani sangatlah kecil padahal mayoritas masyarakat berasal dari dua kelas tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan bagi para sarjana setelah lulus dari kampus.

Selain kondisi di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah besar, termasuk dalam serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa yang diakui di Spanyol, yaitu Sindicato Espanol Universitario (SEU). Pimpinan serikat ini dipilih oleh pemerintah, meski akhirnya diberikan keleluasaan pada mahasiswa untuk memilih sendiri. Namun, mahasiswa tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian mereka membuat serikat baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica de Espana (FUDE) dan ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi Confederacion Democratica de Espana (CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini, mahasiswa mulai berani mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal serikat mahasiswa di kampus. Kritik mereka pada sistem Universitas kemudian merembet pada isu politik nasional. Reli-reli protes selalu dihadapkan pada bentrokan dengan aparat kepolisian. Guna menghadapi itu, mahasiswa kemudian membuka jaringan dengan buruh karena memiliki kesamaan isu, yaitu kebebasan berserikat. Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh bersama karena memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan mogok bersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada bentrokan dan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh. Namun perjuangan bersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan hingga rezim Franco runtuh.

Gerakan mahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada tahun 1968. Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila mengikuti alur cerita dari Ernest Mandell, faktor utama dari protes mahasiswa di Perancis adalah adanya alienasi dalam kehidupan mahasiswa yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswa dihadapkan pada sistem, struktur, dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakin terk-eksklusi dari kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariat baru’ sehingga mereka tak diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampus dan berpartisipasi dalam menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dan kurikulum ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa tidak belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, tetapi diatur secara sistemik dalam kerangka besar untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini kemudian menjadikan mahasiswa mulai protes terhadap kampusnya terkait permasalahan kampus. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka menyadari jika akar permasalahan bukanlah di kampus, tetapi sistem yang mengatur masyarakat secara luas, kampus dianggap hanya salah satu bagian dari masyarakat. Pola perlawanan pun bergeser. Mahasiswa kemudian berafiliasi dengan buruh dan elemen masyarakat lain untuk menentang sistem yang menyebabkan ‘alienasi’ tersebut, yaitu kapitalisme. Perlawanan meluas  tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Perancis. Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 dan mempengaruhi kenyataan politik di Perancis masa itu.[4]

Berangkat dari Realisme, Menuju Emansipatoris

Bila kita perhatikan bersama terdapat beberapa pembelajaran dari gerakan mahasiswa di atas. Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan realitas atas kondisi. Dari beberapa kasus, setiap gerakan mahasiswa umumnya berangkat dari permasalahan yang ada di sekitar mereka, hal itu kemudian diabstraksikan ke arah yang lebih mendasar untuk mencari akar masalahnya. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa selalu bermula dari realitas di sekitarnya, dari sesuatu yang real, dan kemudian diproblematisasi. Bila mengikuti logika ini, maka gerakan mahasiswa di atas melihat permasalahan dengan kacamata realisme kritis.

Berangkat dari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas kemudian timbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakah yang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebut dengan realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat  kenyataan sebagai hal yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu yang ada secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan hal tersebut ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau anggapan seseorang. Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika permasalahan sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka. Ada atau tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada di masyarakat. Melihat hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagai respon terhadap hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu disyaratkan secara deterministik oleh permasalahan secara real itu.

Realisme kritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitas empirik (realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual (realitas yang dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’ (realitas yang bersifat transfaktual dan lebih bertahan daripada persepsi kita karena ia berisi struktur yang memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasar terdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul).[5] Hubungan dari ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya realitas (a) disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga, realitas (a) merupakan manifestasi secara  empirik dari realitas (c). Oleh karena itu, realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan realitas  yang ‘real’ atau sejati dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untuk melampaui realitas empirik dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebak dalam keduanya. Hal ini seperti apa yang dipaparkan Roy Bhaskar, bahwa pertama, dunia ada secara independen dari anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligus terdiferensiasi dan terstratifikasi; kedua, fenomena sosial muncul dari dalam relasi struktur menjadi aktual kemudian tampil secara empiric; ketiga, sehingga untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai dari bidang empirik, tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan harus terus bergerak ke bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di tingkat relasi-relasi terdalam dari struktur, yaitu kuasa.[6]

Melihat pengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa dapat dikatakan berangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang di hadapi dapat ditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Di Amerika Latin hal itu dimulai dari permasalahan otonomi akademik, di Italia dari otoritarianisme akademik, di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan di Perancis karena ‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahan yang empirik di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untuk mendapatkan realitas yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataran permasalahan empirik saja, tapi terus melaju untuk melewati permasalahan aktual dan menuju permasalahan terdalam yang berasal dari relasi struktur, yaitu kuasa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dari Amerika Latin, Italia, Spanyol dan Perancis kemudian menyadari jika permasalahan yang terjadi di dunia akademik mereka bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terdapat realitas lain yang menjadi sumber permasalahan mereka, permasalahan inilah yang disebut sebagai realitas ‘real.’ Realitas ‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secara struktural yang menjadi akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian mereka bergerak maju menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan yang sejati atau ‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudian menuntut dijatuhkannya otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut sistem akademik dalam tingkat nasional, di Spanyol menyerang fasisme Franco, dan di Perancis kemudian menyerang sistem kapitalisme pendidikan. Hal itu dilakukan saat mereka menemukan realitas ‘real’ tersebut dalam konteks saat itu.

Pembelajaran yang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah dilakukan oleh kawan-kawan gerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat memberikan gambaran kepada gerakan mahasiswa sekarang untuk melihat permasalahan secara kritis. Berangkat dari realisme, dalam hal ini tentu dengan asumsi realisme kritis, adalah untuk mendapatkan gambaran struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologisme tersebut. Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkan dengan asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomena sosial secara empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang menjadi akar permasalahan tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam realitas empirik dan aktual saja. Pembacaan  realitas yang demikian, menurut saya, tak hanya untuk permasalahan yang tunggal saja. Analisa terhadap perkembangan isu sosial kemasyarakatan yang berlangsung secara paralel perlu untuk dilakukan dengan analisa seperti di atas, sehingga gerakan mahasiswa tak hanya berkutat pada satu isu ke isu lainnya saja, yang itu sebenarnya hanya realitas empirik. Perlu penarikan secara ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang terjadi. Permasalahan ‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.

Penjabaran satu bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana gerakan mahasiswa. Maka selanjutanya yang perlu kita upas, menuju kemanakah gerakan mahasiswa ini? Setelah realitas ‘real’ didapatkan lantas untuk apa diselesaikan?

Dalam pikiran saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu kata, yaitu emansipatoris. Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasi kehidupan manusia. Dalam pengertian humanisasi, pembebasan manusia dari belenggu yang diciptakan permasalahan secara ‘real’ tadi berusaha dilepaskan. Perjuangan emansipatoris berkaitan dengan sisi aksiologis dari ilmu pengetahuan yang menjadi domain mahasiswa selama ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmu pengetahuan tak hanya berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilai permasalahan. Ilmu pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan dan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika, maka keberpihakan dan terlibat dalam penyelesaian masalah sosial menjadi hal yang terhubung dengan perjuangan emansipatoris.

Dalam diri emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk menciptakan kesetaraan bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu, keberpihakan menjadi jaminan jika perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang bebas nilai dan nihil. Terdapat subyek yang menjadi dasar analisa bagaimana perjuangan diarahkan dan ukuran kemenangannya. Sedangkan, aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalah menjadi domain pembebasan bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa. Pembebasan ini merupakan langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’ di atas. Dalam perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untuk terus kontinyu dalam denyut gerakan sosial masyarakat.

Hal tersebut dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di atas, bagaimana perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris. Gerakan mahasiswa setelah menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan untuk membebaskan diri dari belenggu itu, sekaligus menggabungkan diri dengan sektor lain di masyarakat untuk menghapuskan belenggu yang dihasilkan oleh realitas ‘real’ tadi. Penggabungan diri ini dilakukan karena pada umumnya permasalahan ‘real’ merupakan akar permasalahan bagi banyak permasalahan empirik yang sifatnya multi sektoral. Oleh karena itu, menurut saya, perjuangan emansipatoris tak dapat dilakukan dengan sendirian oleh gerakan mahasiswa. Penggabungan diri dengan gerakan lain di masyarakat perlu dilakukan dalam rangka pembebasan belenggu dari permasalahan yang berakar pada relasi struktur tadi.

Penutup

Melalui tulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia menjadi hal yang penting. Setidaknya, bagaimana gerakan ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas hal tersebut perlu mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar tak  menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.

Dengan analisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkat dari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadari jika permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi akar permasalahan sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini yang dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalah pengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara bersama-sama dengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah perjuangan yang emansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu permasalahan yang diciptakan oleh permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut, yang menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini (harus) bergerak.***

Minggu, 14 September 2014

SAMBUTAN KONFERCAB PMII JEPARA 2014 TERIMAKASIH SAHABAT PMII JEPARA


ASSLAMUALIKUM WR.WB 
KEPADA YTH.:
1. BAPAK BUPATI JEPARA 
2. PKC.PMII JAWA TENGAH 
3. IKA PMII JEPARA 
4. SELURUH PANITIA DAN PENGURUS CABANG PMII JEPARA 
5. KETUA KOMISARIAT SULTAN HADIRIN,  
6. RAYON, TARBIYAH, SYARIAH, DAKWAH, EKONOMI, SAIND TEX
7. TAMU UNDANGAN  

Pergerakan mahsiswa islam Indonesia adalah irganiosasi independen dan kaderisasi yang berda di berbagai tingkatatan mulai dari pb.pmii, pkc.pmiipc.pmii.komisariat, rayon, pengurus cabang pmii jepara mempunyai 1 komisariat dan 2 bso 5 rayon yang berasal dari kampus unisnu jepara, 

Halqoh akbar dan kongres pmii yang ke xvi kali ini mengangkat tema “peran pmii dalam mengawal kepemimpinan nasional ” dengan hal tersebut maka pmii sebagai organisasi mahsiswa yang tidak pernah lepas dalam mengawal isu-isu nasional maupun  kebijakan daerah yang hari ini masih jauh dari cita-cita untuk mensejahtrakan rakyat.

Dalam haloqoh dan seminar nasional kali ini kami mengajak semua pihak bersama-sama untuk ikut serta berfikir dalam mengawal kepimpinan nasional maup[un daerah, jepara adalah kota yang berkembang dan pengekspor mebel tapi rakyatnya masih banyak yang miskin ini tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama. Pembangunan yang belum maksimal atau belum merata ini juga menjadi tangung jawab kita bersama, 

Maka dari itu kami mengajak kepada seluruh kader pmii untuk berperan aktif dalam mengawal berbagai persoalan dan kebijakan yang ada sehingga akan tercipta keadilan dan kesejahtraan rakyat. 

Kami sampaikan trimakasih Allah s.w.t dan kepada semua pihak yang tidak kami sebut satu persatu  yang telah membantu selama satu preode pengurusan. Dan ucapan permohonan maaf kepada seluruh pihak jika dalam satu priode kami ada kesalahan. Karna kami bukan manusia yang sempurna pasti punya salah.   


APBD Jepara 2014 ditargetkan 1,382 triliun
Sesuai penetapan anggaran tersebut, APBDKabupaten Jepara Tahun Anggaran 2014 ditargetkan  melakukan belanja sebesar Rp. 1,502 triliun. Sementara pendapatan daerah yang dihimpun sepanjang tahun 2014, ditargetkan mencapai Rp.1,382 triliun sehingga terjadi defisit anggaran sebesar Rp 120 miliar. Menurut, Aris Isnandar defisit ini akanditutup dari surplus pembiayaan.

Perincian Dana perimbangan dari pusat masih menjadi andalan pendapatan daerah. Dari total
pendapatan Rp. 1,382 triliun, dana perimbangan akan berkontribusi sebesar Rp. 1,013 triliun. Pundi pendapatan lainnya diharapkan dipasok dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 137,5 miliar, serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah ,sejumlah Rp 231,75 miliar.

Sedangkan belanja daerah senilai Rp 1,502 tersebut, digunakan untuk belanja tidak langsung sebesar Rp 876,9 miliar, serta belanja langsung sebesar Rp. 625,3 miliar. "Kita akan segera kirimkan APBD Tahun Anggaran 2014 ini kepada gubernur agar segera dievaluasi, dan kita harapkan bisa dilaksanakan tepat waktu," kata Bupati Ahmad Marzuqi menanggapi penetapan APBD Tahun Anggaran 2014. Dihitung sejak paripurna penetapan ini, masih ada waktu tiga
minggu sebelum tahun 2014.

Dalam rapat paripurna kemarin Badan Anggaran DPRD Kabupaten Jepara memberikan 16 saran kepada Bupati Jepara menjelang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2014.

"Bupati Jepara agar memilih konsultan perencana dan pengawas yang qualified," kata Wakil Ketua Banggar, Aris Isnandar saat membacakan salah satu saran Banggar pada Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan Rancangan Perda APBD Kabupaten Jepara Tahun Anggaran 2014 di Ruang Graha Paripurna DPRD, Selasa (10/12) sore.

Rapat Paripurna dipimpin Ketua DPRD Yuli Nugroho, bersama tiga Wakil Ketua, Subangun, Aris Isnandar, dan Japar. Hadir, Bupati Jepara Ahmad Marzuqi, Wakil Bupati Subroto, Forkopinda, Sekda, Pimpinan SKPD, BUMD. Rapat diawali laporan Komisi A,beserta saran- sarannya,Komisi B,C dan D. Juga kata akhir Fraksi dari enam fraksi di DPRD, sebelum memberikan persetujuan Rancangan Perda APBD 2014 ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Sorotan intinya minta peningkatan kualitas pekerjaan proyek fisik tersebut, memang mendominasi saran yang diberikan Banggarn karena setidaknya terdapat tiga saran di bidang ini. "Bupati juga harus menjaga kualitas pekerjaan fisik serta membuat kontrak kerja yang jelas antara konsultan teknik dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pengguna Anggaran,"
papar Aris Isnandar, membacakan saran-saran lainnya.
(suara merdeka)

Salam pergerakan lamjutkan perjuangan sahabat dan sahabati 
  

Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928

Rabu, 02 November 2016 18:03 Nasional Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928 Jakarta, NU Online Sejumlah...