Saat didirikan, PMII merupakan bagian integral dari organisasi (Partai) NU. PMII dilahirkan sebagai sayap mahasiswa NU disamping GP Anshor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putrid dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar, SARBUMUSI di sayap buruh dan LESBUMI di sayap seni. Maka keterlibatan PMII di masa awal-awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keharusan.
Pada tahun 1974 ketika NU dipaksa melakukan fusi bersama partai-partai Islam lain dalam PPP, Deklarasi Independensi Murnajati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat relevan. Dengan tegas PMII menyatakan independent dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan partai politik. Demikian pula. Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980, yang menegaskan kesalingtergantungan PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhdp jama’ah nahdliyah.
Secara nasional PMII mulai fokus pada gerakan yang mencita-citakan terjadinya perubahan sistem jangka panjang. Dengan mencukupkan perdebatan tersebut, PMII mulai menghindari primodialisme gerakan. Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuk class of struggle (kelas pejuang). Yakni menempatkan Jama’ah Nahdliyah sebagai bagian warga dari negara –bangsa Indonesia kemana pertaruhan perjuangan-gerakan PMII dialamatkan. Penegasan tersebut perlu dilakukan karena pusat keprihatinan PMII bukanlah nasib kelompok tertentu melainkan semata-mata negara-bangsa Indonesia. Melalui penegasan itu , diharapkan gerakan PMII saat ini dan dikemudian hari akan lebih ekstensif baik dalam ruang maupun bentuknya dan tidak monolitik memusat dalam lingkaran Nahdlatul Ulama.
Bagi mahasiswa saat ini, gerakan bukan istilah familiar yang dekat dengan kenyataan sehari-hari yang mereka hadapi. ’Gerakan’ mungkin hidup dalam imajinasi mereka setelah membaca literatur sejarah nasionalatau berita tengtang aksi mahasiswa. Dari masukan-masukan tersebut, ’gerakan’ mendapat cita tersendiri beriringan dengan citra tentang aktivis mahasiswa. Barangkali ini tantangan pertama yang harus diterima oleh PMII.
Tantangan kedua, imput kader PMII saat ini tidak lagi hanya individu yang dibesarkan dalam tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat ”tradisionalisme” yang tinggi, namun latar belakan kader PMII semakin beragam. Mulai banyak juga kader PMII yang bukan berasal dari kalangan santri, bukan pedesaan dan sedikit memiliki pengetahuan agama, sehingga PMII harus bisa mengembangkan kajian-kajian yang sesuai dengan karakter dan keingingan kader itu sendiri. Kader PMII harus bisa menguasai segala bidang keilmuan baik bidang ekonomi, agama, desain, politik, maupun yang lain, sehingga diharapkan setelah berproses di PMII kader bisa mengamalkan keilmuan sesuai dengan fakultas masing-masing.
Ketiga, input kader PMII hakikatnya memang masih membawa mentalitas agraris. Seberapapun sudah cukup ’urban’ seorang kader PMII, dalam perilaku, mentalitas agraris masih tercermin. Misal, meskipun secara verbal setiap kader PMII menginginkan ’PMII profesional’, namun dalam laku keseharian dalam bentuk komunalisme masih menarik perhatian.
Keempat, mahasiswa sekarang adalah generasi mahasiswa yang dilahirkan tahun-tahun tengah dekade 1980-sebentar lagi mahasiswa kelahiran tahun 1990-an. Mereka menjadi remaja ketika situasi krisis tengah berada di titik kulminasinya. Sehingga perwatakan (permukaan) mereka, tidak mungkin disamakan dengan mahasiswa kelahiran tahun 1970-an. Ini tantangan paling dekat bagi mahasiswa baru yang dituntut bisa mempunyai motif gerakan tersendiri untuk mempersiapkan kader yang survive dan bergerak dalam kenyataan.
Pada tahun 1974 ketika NU dipaksa melakukan fusi bersama partai-partai Islam lain dalam PPP, Deklarasi Independensi Murnajati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat relevan. Dengan tegas PMII menyatakan independent dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan partai politik. Demikian pula. Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980, yang menegaskan kesalingtergantungan PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhdp jama’ah nahdliyah.
Secara nasional PMII mulai fokus pada gerakan yang mencita-citakan terjadinya perubahan sistem jangka panjang. Dengan mencukupkan perdebatan tersebut, PMII mulai menghindari primodialisme gerakan. Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuk class of struggle (kelas pejuang). Yakni menempatkan Jama’ah Nahdliyah sebagai bagian warga dari negara –bangsa Indonesia kemana pertaruhan perjuangan-gerakan PMII dialamatkan. Penegasan tersebut perlu dilakukan karena pusat keprihatinan PMII bukanlah nasib kelompok tertentu melainkan semata-mata negara-bangsa Indonesia. Melalui penegasan itu , diharapkan gerakan PMII saat ini dan dikemudian hari akan lebih ekstensif baik dalam ruang maupun bentuknya dan tidak monolitik memusat dalam lingkaran Nahdlatul Ulama.
Bagi mahasiswa saat ini, gerakan bukan istilah familiar yang dekat dengan kenyataan sehari-hari yang mereka hadapi. ’Gerakan’ mungkin hidup dalam imajinasi mereka setelah membaca literatur sejarah nasionalatau berita tengtang aksi mahasiswa. Dari masukan-masukan tersebut, ’gerakan’ mendapat cita tersendiri beriringan dengan citra tentang aktivis mahasiswa. Barangkali ini tantangan pertama yang harus diterima oleh PMII.
Tantangan kedua, imput kader PMII saat ini tidak lagi hanya individu yang dibesarkan dalam tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat ”tradisionalisme” yang tinggi, namun latar belakan kader PMII semakin beragam. Mulai banyak juga kader PMII yang bukan berasal dari kalangan santri, bukan pedesaan dan sedikit memiliki pengetahuan agama, sehingga PMII harus bisa mengembangkan kajian-kajian yang sesuai dengan karakter dan keingingan kader itu sendiri. Kader PMII harus bisa menguasai segala bidang keilmuan baik bidang ekonomi, agama, desain, politik, maupun yang lain, sehingga diharapkan setelah berproses di PMII kader bisa mengamalkan keilmuan sesuai dengan fakultas masing-masing.
Ketiga, input kader PMII hakikatnya memang masih membawa mentalitas agraris. Seberapapun sudah cukup ’urban’ seorang kader PMII, dalam perilaku, mentalitas agraris masih tercermin. Misal, meskipun secara verbal setiap kader PMII menginginkan ’PMII profesional’, namun dalam laku keseharian dalam bentuk komunalisme masih menarik perhatian.
Keempat, mahasiswa sekarang adalah generasi mahasiswa yang dilahirkan tahun-tahun tengah dekade 1980-sebentar lagi mahasiswa kelahiran tahun 1990-an. Mereka menjadi remaja ketika situasi krisis tengah berada di titik kulminasinya. Sehingga perwatakan (permukaan) mereka, tidak mungkin disamakan dengan mahasiswa kelahiran tahun 1970-an. Ini tantangan paling dekat bagi mahasiswa baru yang dituntut bisa mempunyai motif gerakan tersendiri untuk mempersiapkan kader yang survive dan bergerak dalam kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar