Rabu, 16 September 2015

Membaca, diskusi dan menulis

 oleh . Kabb Mustofa S.Kom.i Pengurus komsariat ratu kalinyamat 2010
Membaca, diskusi dan menulis adalah bagian utama dalam suatu proses pendidikan baik itu kegiatan formal maupun non formal. Membaca merupakan aktifitas yang wajib dilakukan oleh mahasiswa menuju  sukses dalam bergelut dengan studynya, bukan cuma pelajar dan mahasiswa namun semua orang didunia ini butuh dengan membaca guna menemukan pengetahuan untuk dijadikan referensi dalam bertindak sekaligus membaca menjadi ukuran suatu bangsa dalam hal tingkat kebodohan. Menulis adalah pengembangan dari kebiasaan membaca yang dijadikan sebuah dokumentasi atau karya sehingga pengembangan yang dilakukan dapat dinikmati orang lain ataupun dijadikan semacam memori. sedangkan berdiskusi adalah pertukaran pikiran antara individu dengan individu.

Sebuah realitas ketika saat ini ketiga skill  tersebut  sulit untuk ditaklukan dan malah mulai ditinggalkan karena saat ini dianggap kurang penting, baik mahasiswa ataupun pelajar lebih mementingkan suatu nilai yang dikejar dengan menghalalkan bermacam cara. Dengan melupakan menjaga keseimbangan ketiga skill  tersebut maka ilmu tidak akan dapat berkembang.

     Perkembangan pemikiran dan gerakan perempuan dalam islam indonesia tidak bisa dilihat terpisah dari gerakan pembaharuan islam yang secara intensif berlangsung diindonesia pada awal abad ke-20. Tumbuhnya gerakan pembeharuan Islam memang tidak bisa dipisahkan dari perubahan sosial dan budaya diIndonesia. Semangat perubahan juga muncul dikalangan pelajar Indonesia di Mekah. Kemudian dunia pendidikan menjadi satu sarana paling efektif bagi proses pembaharun masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan sangat tepat untuk menumbuhkan ide dan gagasan- gagasan cemerlang. Dalam kaitan ini R. A Kartini menjadi saksi munculnya sebuah kesadaran baru dikalangan perempuan Indonesia dan masyarakat secara umum. Kartini memang mewarisi semangat pembaharuan pendidikan dari Abendamon.

Pendidikan bagi kaum perempuan sangat penting untuk sebuah pembaharuan. Pendidikan menjadi sarana sentral dalam mencapai kemajuan. lebih dari itu, pentingnya pendidikan perempuan selanjutnya juga dipahami dalam kerangka lebih luas, kemajuan bangsa dan negeri. Kaum perempuan, tepatnya ibu untuk keluarga menjdi basis bagi pembentukan watak dan orientasi suatu masyarakat. Dapat dipahami, maka tingkat pendidikan perempuan sangat berperan menentukan.

Saat ini pola gerakan mahasiswa pun cenderung mengarah pada sifat hedonis dan mengenyampingkan visi akademik dibidang pengabdian masayarakat. Sebagai generasi bangsa hal tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja mengingat beberapa fasilitas dari pemerintah dan akademik sudah mulai memadai dan mudah diakses. Jika mahasiswa dibidang akademik (membaca, manullis dan berdiskusi) dan visi pengabdian kepada masyarakat tidak mampu ditawarkan pada masyarakat tentu menjadi problem serius bagi bangsa ini. Apalagi hari ini masyarakat sangat membutuhkan tenaga dan akal pikiran untuk membantu peningkatan derajat yang saat ini masih terpuruk sekali.

Bangsa dan Negara saat ini membutuhkan generasi baru yang siap mengemban mandate kebangsaan untuk meneruskan perjuangan bangsa. Akan tetapi itu harus dicapai dengan kerja keras dan dangan cara mengembangkan skill-skill gererasi muda, agar kedepan mereka benar-benar menjadi generasi yang berkualitas dan mempunyai intelektual yang tinggi. Namun juga harus menjadi orang yang bertanggung jawab.

Ada pandangan bahwa “gerakan” akan muncul sebagai sebuah reaksi sepontan walaupun tidak terorganisir dengan jelas. Namun demikian pada hakikatnya sebuah gerakan merupakan upaya melakukan antitesa dari komdisi status quo yang komservativ dan tidak memiliki kepekaan akan cita-cita masyarakat yang lebih maju. Mereka percaya atas “testamen” pernyataan sejarah bahwa tidak ada yang abadi didunia ini kecuali perubahan. Manusia akan selalu ada dalam pergulatan dialektik untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Minggu, 13 September 2015

PENGATAR ADVOKASI (Panduan Latihan)


Oleh : Nor Ihsan Iskandar El Sadam

Pengarang            : Ritu R. Sarma
Judul Awal         : An Introduction to Advocaci Training Guide
Terbitan Awal        : YOI: 432.21.2.2003
Penerjemah            : P. Soemitro
Cetakan (pertama)        : Mei 2004
Desain sampul        : rahmatika creative desaign
Penerbit
(dalam bahasa indonesia)    : yayasan obor indonesia, anggota IKAPI DKI jaya atas kerja sama dengan    yayasan tifa. Jalan plaju No.10 jakarta 10230, telp. 3920114 & 31926978, Fax (021) 31924488, e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id. http://www.obor.or.id
Ukuran Buku            : 14,5 x 21 cm
Jumlah Halaman        : xx + 196 Halaman
Data Biografi


Pembahasan
Definisi
    Advokasi adalah tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atau program dari segala institusi.
Advokasi mengajukan, memperhatikan atau merekomendasikan suatu gagasan dihadapan orang lain.
Advokasi berbicara, menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah, dan mengarahkan pengambil keputusan mencari solusi.
Advokasi bekerjasama dengan orang  dan organisasi lain untuk membuat suatu perbedaan.
Advokasi adalah memasukkan suatu problem kedalam agenda, mencari solusi tentang problem tersebut dan membangun dukungan untuk bertindak menangani problem maupun solusinya.
Advokasi mungkin bertujuan untuk mengubah suatu organisasi secara internal atau mengubah seluruh sistem.
Advokasi dapat melibatkan berbagai aktifitas jangka pendek yang spesifik untuk mencapai pandangan tentang perubahan jangka panjang.
Advokasi terdiri atas berbagai macam strategi meliputi mengdakan lobi, pemasaran kepada masyarakat, memberi informasi, pendidikan dan komunikasi (IEC / information, education and comunication), membentuk organisasi masyarakat, atau berbagai macam “taktik” lain.
Advokasi adalah keikutsertaan masyarakat didalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.


Keterangan:
Tujuan Advokasi
Masalahnya mungkin sangat komplek. Agar usaha advokasi itu berhasil, tujuan umum harus dipersempit sampai pada tujuan advokasi yang didasarkan pada jawaban te rhadap pertanyaan: dapatkah masalah ini mengajak berbagai kelompok bersama-sama membentuk koalisi yang kuat? Apakah tujuannya mungkin tercapai? Apakah tjuannya benar-benar menangani masalah itu?
Menggunakan Data dan Penelitian Untuk Advokasi
Data dan penelitian merupakan hal yang sangat penting untuk membuat keputusan yang sangat tepat ketika memilih masalah yang akan ditangani, mengidentifikasi solusi bagi masalah tersebut, dan menentukan tujuan yang realistia. Kecuali itu, data yang baik itu sendiri dapat menjadi argumentasi yang menarik. Dengan data itu dapatkah anda mencapai tujuan dengan realistis? Data apa yang dapat digunakan untuk dapat mendukung argumentasi anda?
Mengidentifikasi Sasaran Advokasi
Jika masalah dan tujuannya telah terpilih, usaha advokasi itu harus diarahkan pada orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan idenya, kepada orang yang mempengaruhi pengambilan keputusan itu, seperti staf, penasehat, orang tua-tua yang berpengaruh, media, dan masyarakat. Siapa nama para pengambil keputusan yang dapat membuat tujuan umum anda menjadi kenyataan? Siapa dan apa yang mempenaruhi para pengambil keputusan ini?
Mengembangkan dan Menyampaikan Pesan Advokasi
Berbagai macam advokasi memberi tanggapan terhadap pesan yang berbeda-bea pula. Misalnya, seorang politikus mungkin tergerak hatinya ketika ia tahu berapa banyaknya orang di wilayahnya yang menaruh kepedulian terhadap problem tersebut. Seorang menteri kesehatan atau pendidikan mungkin akan bertindak ketika kepadanya disajikan data terperinci tentang masih adanya problem tersebut. Pesan apakah yang perlu sampai kepada sasaran advokasi pilihan demi kepentingan anda?
Membentuk Koalisi
Sering kekuatan advokasi terdapat pada beberapa orang yang mendukung tujuan ada. Khususnya dimana demokrasi dan advokasi merupakan fenomene yang baru yang melibatkan sejumlah besar orang mewakili kepentingan yang berbeda-beda itu dapat memberikan jaminan keamanan bagi advokasi maupun untuk membentuk dukungan politik. Didalam suatu organisasi sekailpun pembentukan koalisi, misal melibatkan orang dari berbagai bagian di dalam menyusun program baru, dapat membantu bentuk kesepakatan untuk bertindak. Siapa lagi yang akan anda undang untuk begabung ke dalam kasus anda? Siapa yang dapat menjadi rekan anda?
Membuat Presentasi yang Persuasif
Kesempatan untuk mempengaruhi sasaran advokasi yang merupakan tokoh kunci sering kali terbatas. Seorang polikus mungkin memberikan kepada anda satu kesempatan bertemu untuk mendiskusikan masalah anda, atau seorang menteri mungkin hanya mempunyai waktu lima menit didalam suatu konferensi untuk bebicara dengan anda. Persapan yang cermat dan mendalam untuk membuat argumen yang meyakinkan dan gaya penyajian mungkin dapat mengubah kesempatan yang sempit itu menjadi advokasi yang berhasil. Jika anda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pengambil keputusan, apa yang hendak anda katakan, dan bagaimana anda mengatakannya?
Mengumpulkan Dana untuk Advokasi
Sebagian besar kegiatan, termasuk advokasi, memerlukan sumber dana. Usaha untuk melakukan advokasi secara berkelanjutan dalam waktu yang panjang berarti menyediakan waktu dan energi dalam mengumpulkan dana atau sumber daya yang lain untuk mendukung tugas anda. Bagaimana anda dapat mengumpulkan sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan usaha advokasi anda?
Mengevaluasi Usaha Advokasi
Bagaimana anda tahu bahwa anda telah berhasil didalam mencapai tujuan advokasi anda? Bagaimana strategi advokasi anda dapat ditingkatkan? Untuk menjadi pelaksana advokasi yang efektif diperlukan umpan balik dan evaluasi terus menerus mengenai usaha anda.
Mengidentifikasi Sasaran Advokasi
Pemetaan kebijakan adalah suatu alat yang dipakai untuk mengidentifikasi dan mengetahui sarana advokasi yang sangat penting. Tahap pertama pemetaan kebijakan adalah membuat daftar para pengambil keputusan kunci dan pribadi serta kelompok yang dapat mempengaruhi para pengambil keputusan ini. Menyusun tingkatan pengambil keputusan menurut pentingnya juga sangat membantu didalam perencanaan strategi Anda. Jika Anda tidak yakin atau tidak tahu, Anda perlu mengadakan sejumlah penelitian. Mengidentifikasi pentingnya para pengambil keputusan dan sasaran advokasi merupakan tugas tetap bagi petugas advokasi.
Mengembangkan dan menyampaikan
Sala satu cara paling efektif membangun kesadaran mengenai persoalan Anda dan untuk membentuk dukungan bagi tujuan umum Anda adalah dengan cara membagi sasaran advokasi Anda menjadi kelompok-kelompok dan mengembangkan “pesan” yang membuat setiap kelompok itu memberikan tanggapan.
Apakah pesan itu?. Pesan adalah pernyataan ringkas dan persuasif tentang tujuan umum advokasi yang mengandung apa yang ingin anda capai, mengapa dan dengan cara bagaimana. Karena maksud yang mendasari pesan tersebut adalah untuk menciptakan tindakan, pesan anda hendaknya juga memasukkan tindakan spesifik yang anda inginkan yang akan dilakukan oleh sasaran advokasi.
Lima unsur kunci dari pesan. Isi yang merupakan salah satu bagian dari pesan. Faktor-faktor non verbal lain seperti siapa yang menyampaikan pesan, dimana pertemuanya dilaksanakan atau waktu penyampaikan pesan mungkin sama, atau lebih penting daripada isinya sediri. Kecuali itu, kadang-kadang apa yang tidak dikatakan bisa menyampaikan pesan yang lebih lantang daripada apa yang dikatakan.
 Isi/gagasan : gagasan apa yang ingin anda sampaikan? Argumen apa yang ingin anda pakai untuk menghimbau sasaran advokasi.
Bahasa : kata-kata apa yang hendak anda pilih agar pesan itu sampai dengan jelas dan efektif? Adakah kata yang seharusnya anda pakai atau tidak?
Sumber/pembawa pesan : siapa yang akan ditanggapi oleh sasaran advokasi dan mendapat kepercayaan.
Bentuk : dengan cara yang mana anda menyampaikan pesan agar memberi pengaruh maksimum? Misalnya, dalam rapat, dengan surat, brosur, atau iklan radio?
Waktu dan tempat : kapan merupakan saat terbaik untuk menyampaikan pesan? Adakah tempat menyampaikan pesan anda yang dapat menambah kepercayaan atau memberikan dampak politik yang lebih kuat?
Unsur-unsur isi pesan.
•    Apa yang ingin anda capai?
•    Mengapa ingin mencapai itu (akibat positif dengan melakukan tindakan dan atau akibat negatif jika tidak melakukan).
•    Bagaimana usulan anda untuk mencapainya?
•    Tindakan apa yang anda inginkan agar dilakukan oleh sasaran advokasi?
Tiga petunjuk untuk mengembangkan dan menyampaikan pesan
1.    Sampaikan pesan yang konsisten pada sasaran advokasi melalui berbagai saluran dan waktu yang cukup lama.
2.    Pastikan bahwa pesan anda disampaikan oleh seorang narasumber yang menurut  sasaran advokasi adalah orang yang dapat dipercaya.
3.    Ciptakan pesan yang dapat difahami oleh sasaran anda.

Tipe koalisi
Seperti halnya pelaksana advokasi, koalisi muncul dalam semua bentuk dan ukuran, setiap tipe melayani maksud tertentu. Kategori ini bukannya sama-sama eksklusif, misalnya, suatu koalisi mungkin adalah koalisi yang permanen, formal, untuk persoalan tunggal, atau koalisi yang informal, geografis, untuk multi persoalan. Koalisi berderet mulai dari yang sangat ke yang sangat terstruktur. Tipe koalisi yang sangat berbeda akan menarik organisasi yang berbeda pula.
Definisi permanen
Koalisi permanen adalah prganisasi yang membentuk korporasi dengan staf dan dewan direktur. Pengambilan keputusan terstruktur dan sistematis. Anggota seringkali membayar iuran tahunan. Banyak koalisi dimulai sebagai kelompok sementara dan informal dan dapat memulai waktu bertahun-tahun untuk menjadi koalisi permanen seperti asosiasi, serikat dagang, atau federal.
Definisi sementara
Koalisi sementara muncul bersama-sama untuk suatu maksud atau tujuan umum. Jika tujuan umu itu tercapai, koalisi tersebut bubar. Kadang-kadang koalisi itu dapat tetap berhubungan jika meneruskan tujuan umum lain.
Definisi formal
Para anggota secara formal bergabung kedalam koalisi, membayar iuran dan tampak sebagai anggota koalisi pada kepala surat, pernyataan koalisi, dsb.
Definisi informal
Tidak terdapat keanggotaan resmi di dalam koalisi ini, oleh karena itu anggotanya selalu berubah. Dengan pergeseran keanggotan, persoalan dan taktik koalisi itu mungkin mungkin juga bergeser.
Definisi geografis
Koalisi ini berdasar atas wilayah geografis seperti suatu distrik sekolah atau wilayah benua.
Definisi beragam persoalan
Koalisi ini menangani sejumlah persoalan atau tujuan advokasi selama keberadaannya. Tetapi, demi maksud strategi dan organisasi, koalisi tersebut mungkin memilih untuk menangani hanya satu tujuan/persoalan setiap kali.
Definisi persoalan tunggal
Koalisi ini menangani satu persoalan atau tujuan. Kadang-kadang aliansi asing mungkin muncul diantara organisasi yang biasanya saling bertentangan, tetapi dapat sepakat untuk bekerja bersama-sama mengenai satu persoalan.

NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) PMII


 Oleh : Ftriyanto komis 2010
a.    Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi NDP
1.    Pengertian
Nilai-nilai dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah basis filosofis dari setiap aktifitas berpikir, berucap dan bertindak, yang mencerminkan tujuan bersama yang hendak dicapai
Nilai-nilai itu merupakan manifestasi pemahaman Aswaja sebagai manhaj al-fikr dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i dalam proses dialektika sejarah global dan ke-Indonesia-an.
2.    Kedudukan
Nilai-nilai Dasar PMII berkedudukan sebagai :
a.    Sumber ideal moral
b. Pusat argumentasi dan pengikat kebebasan berpikir, berucap, dan bertindak.
3.    Fungsi
Nilai-nilai Dasar PMII berfungsi sebagai kerangka ideologis yang pemaknaannya adalah:
- Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas.
- Pola pikir, pola sikap, pola hubungan, dan pola integrasi dalam perspektif gerakan.
b.    Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII
1. Mukaddimah
Tauhid (keyakinan transendental) merupakan sumber nilai yang mencakup pola hubungan antara manusia dengan Allah (hablun min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas), dan hubungan manusia dengan alam (hablun min al-‘alam). Pergerakan meyakini dengan penuh sadar bahwa menyeimbangkan ketiga pola hubungan itu merupakan totalitas keIslaman yang landasannya adalah wahyu Tuhan dalam al-quran dan hadits Nabi. Dalam memahami dan mewujudkan keyakinan itu PMII telah memilih Ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) sebagai manhajul fikr dan manhaj al-taghayyur al-ijtima’i.
Selain itu sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia, PMII menyadari bahwa Pancasila adalah falsafah hidup bangsa, yang penghayatan dan pengamalannya seiring dengan implementasi dari nilai-nilai aswaja: tawassuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul. Karena itu, dengan menyadari watak intelektual dan kesadaran akan tanggung jawab masa depan bersama, dan dengan memohon rahmat dan ridla Allah SWT., maka disusunlah rumusan Nilai-nilai Dasar PMII sebagai berikut :
2. Rumusan Nilai-Nilai Dasar Pmii

1.    Hablun min Allah (Hubungan manusia dengan Allah)
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia dalam sebaik-baik bentuk dan memberikan kedudukan terhormat kepadanya di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya cipta, rasa, dan karsa. Potensi inilah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai hamba (‘abd) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl).
Sebagai hamba, manusia memiliki tugas utama mengabdi dan menyembah Tuhan (Q.S. al-Dzariat: 56), mengesakan Tuhan dan hanya bergantung kepada-Nya, tidak menyekutukan dan menyerupakannya dengan makhluk yang memiliki anak dan orang tua (Q.S. al-Ikhlash: 1-4). Sebagai hamba manusia juga harus mengikhlaskan semua ibadah dan amalnya hanya untuk Allah (Q.S. Shad: 82-83).
Sebagai khalifah, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memakmurkan bumi bukan malah merusaknya (Q.S. al-Baqarah: 30). Karena, kedudukan ini merupakan amanah Tuhan yang hanya mampu dilakukan oleh manusia, sedang makhluk Tuhan yang lain tidak mampu untuk mengembannya (Q.S. al-Ahzab: 72). Dan tingkat kemampuan manusia mengemban amanah inilah yang kemudian menentukan derajatnya di mata Allah (Q.S. al-An’am: 165).
Manusia baru dikatakan berhasil dalam hubunganya dengan Allah apabila kedua fungsi ini berjalan secara seimbang. Pemaknaan seimbang di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat, puasa,dan haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan. Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri kita saja, tetapi juga bagi orang lain terutama keluarga dan masyarakat sekitar kita.
2. Hablun min al-Nas (Hubungan antar sesama manusia)
Pada hakikatnya manusia itu sama dan setara di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan dan keutamaan di antara satu dengan lainnya. Begitu pula tidak dibenarkan adanya anggapan bahwa laki-laki lebih mulia dari perempuan, karena yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan (Q.S. al-Hujurat: 13) keimanan, dan keilmuawannya (Q.S. al-Mujadalah: 11).
Manusia hidup di dunia ini juga tidak sendirian tetapi dalam sebuah komunitas bernama masyarakat dan negara. Dalam hidup yang demikian, kesadaran keimanan memegang peranan penting untuk menentukan cara kita memandang hidup dan memberi makna padanya. Maka yang diperlukan pertama kali adalah bagaimana kita membina kerukunan dengan sesama Umat Islam (ukhuwah Islamiyyah) untuk membangun persaudaraan yang kekal hingga hari akhir nanti (Q.S. al-Hujurat: 11).
Namun kita hidup dalam sebuah negara yang plural dan beraneka ragam. Di Indonesia ini kita hidup bersama umat Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan, dan kelompok keyakinan lainnya. Belum lagi bahwa kita pun berbeda-beda suku, bahasa, adat istiadat, dan ras. Maka juga diperlukan kesadaran kebangsaan yang mempersatukan kita bersama dalam sebuah kesatuan cita-cita menuju kemanusiaan yang adil dan beradab (ukhuwah wathaniyah). Keadilan inilah yang harus kita perjuangkan (Q.S. al-Maidah: 8). Dan untuk mengatur itu semua dibutuhkan sistem pemerintahan yang representatif dan mampu melaksanakan kehendak dan kepentingan rakyat dengan jujur dan amanah. Pemimpin yang sesuai dengan nilai ini, peraturannya harus kita taati selama tidak bertentangan dengan perintah agama (Q.S. al-Nisa: 58) Dan untuk pelaksanaannya kita harus selalu menjunjung tinggi nilai musyawarah yang merupakan elemen terpenting demokrasi (Q.S. Ali Imran: 199).
Namun itu saja belum cukup. Kita hidup di dunia ini berdampingan dan selalu berhubungan dengan negara-negara tetangga. Maka kita juga harus memperhatikan adanya nilai-nilai humanisme universal (ukhuwah bAsy’ariyah), yang mengikat seluruh umat manusia dalam satu ikatan kokoh bernama keadilan. Meskipun kita berbeda keyakinan dan bangsa, tidak dibenarkan kita bertindak sewenang-wenang dan menyakiti sesama. Biarkan mereka dengan keyakinan mereka selama mereka tidak mengganggu keyakinan kita (Q.S. al-Kafirun: 1-6). Persaudaraan kekal inilah sebagai perwujudan dari posisi manusia sebagai khalifah yang wajib memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bumi manusia ini.
3. Hablun min al-Alam (Hubungan manusia dengan alam)
Manusia yang diberi anugerah cipta, rasa, dan karsa, yang merupakan syarat sahnya sebagai khalifah diberi wewenang dan hak untuk memanfaatkan alam bagi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan ini tidak boleh berlebih-lebihan apalagi merusak ekosistem. Hak ini dinamakan sebagai hak isti’mar, yaitu hak untuk mengolah sumber daya alam untuk kemakmuran makhluk hidup tetapi pengelolaan itu harus didasarkan pada rasa tanggung jawab: tanggung jawab kepada kemanusiaan, karena rusaknya alam akan berakibat bencana dan malapetaka bagi kahidupan kita semua, begitu pula tanggung jawab kepada Tuhan yang telah memberikan hak dan tanggung jawab itu. (Q.S. Hud: 61)
Selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup, alam atau ekologi juga merupakan ayat Tuhan yang harus dipahami sebagaimana kita memahami al-quran. Dari pemahaman itulah akan terwujud keimanan yang mantap kepada Tuhan dan kemantapan diri sebagai manusia yang harus menyebarkan c kedamaian di muka bumi. Dari pemahaman inilah akan terbentuk suatu gambaran menyeluruh terhadap alam, bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan maksud-maksud tertentu yang harus kita cari dan teliti. Pencarian makna alam inilah yang melandasi setiap kegiatan penelitian ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan. Maka tidak ada dikotomi dan pertentangan antara ilmu daan wahyu, antara IPTEK dan agama, karena pada hakikatnya keduanya akan mengantarkan kita kepada keyakinan akan keagungan Tuhan (Q.S. 190-191).
Tauhid
Maka dengan menyeimbangkan ketiga pola hubungan di atas kita akan mencapai totalitas penghambaan (tauhid) kepada Allah. Totalitas yang akan menjadi semangat dan ruh bagi kita dalam mewarnai hidup ini, tidak semata-mata dengan pertimbangan Ketuhanan belaka, tetapi dengan pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Bahwa tauhid yang kita maksudkan bukan sekadar teisme transcendental an-sich, tetapi antrophomorfisme transendental, Nilai-nilai ketuhanan yang bersatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Totalitas tauhid inilah yang akan memandu jalan kita dalam mencapai tujuan gerakan membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.
Khatimah
Rumusan Nilai-Nilai Dasar PMII perlu selalu dikaji secara kritis, dipahami secara mendalam dan dihayati secara teguh serta diwujudkan secara bijaksana. Dengan NDP ini hendak diwujudkan pribadi muslim yang bertakwa-berilmu-beramal, yaitu pribadi yang sadar akan kedudukan dan perannya sebagai intelektual muslim berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah di negara Indonesia yang maju, manusiawi, adil, penuh rahmat dan berketuhanan serta merdeka sepenuhnya.
Rabbana ‘alaika tawakkalna wa ilaika anabna wa ilaika al-mashir.


Jumat, 11 September 2015

SEJARAH PMII DAN MAHASISWA KONTEMPORER

    Saat didirikan, PMII merupakan bagian integral dari organisasi (Partai) NU. PMII dilahirkan sebagai sayap mahasiswa NU disamping GP Anshor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu, Fatayat di sayap remaja putrid dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar, SARBUMUSI di sayap buruh dan LESBUMI di sayap seni. Maka keterlibatan PMII di masa awal-awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keharusan.
    Pada tahun 1974 ketika NU dipaksa melakukan fusi bersama partai-partai Islam lain dalam PPP, Deklarasi Independensi Murnajati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat relevan. Dengan tegas PMII menyatakan independent dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan partai politik. Demikian pula. Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980, yang menegaskan kesalingtergantungan PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhdp jama’ah nahdliyah.
    Secara nasional PMII mulai fokus pada gerakan yang mencita-citakan terjadinya perubahan sistem jangka panjang. Dengan mencukupkan perdebatan tersebut, PMII mulai menghindari primodialisme gerakan. Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuk class of struggle (kelas pejuang). Yakni menempatkan Jama’ah Nahdliyah sebagai bagian warga dari negara –bangsa Indonesia kemana pertaruhan perjuangan-gerakan PMII dialamatkan. Penegasan tersebut perlu dilakukan karena pusat keprihatinan PMII bukanlah nasib kelompok tertentu melainkan semata-mata negara-bangsa Indonesia. Melalui penegasan itu , diharapkan gerakan PMII saat ini dan dikemudian hari akan lebih ekstensif baik dalam ruang maupun bentuknya dan tidak monolitik memusat dalam lingkaran Nahdlatul Ulama.
    Bagi mahasiswa saat ini, gerakan bukan istilah familiar yang dekat dengan kenyataan sehari-hari yang mereka hadapi. ’Gerakan’ mungkin  hidup dalam imajinasi mereka setelah membaca literatur sejarah nasionalatau berita tengtang aksi mahasiswa. Dari masukan-masukan tersebut, ’gerakan’ mendapat cita tersendiri beriringan dengan citra tentang aktivis mahasiswa. Barangkali ini tantangan pertama yang harus diterima oleh PMII.
    Tantangan kedua, imput kader PMII saat ini tidak lagi hanya individu yang dibesarkan dalam tradisi santri dengan kemampuan dasar agama dan semangat ”tradisionalisme” yang tinggi, namun latar belakan kader PMII semakin beragam. Mulai banyak juga kader PMII yang bukan berasal dari kalangan santri, bukan pedesaan dan sedikit memiliki pengetahuan agama, sehingga PMII harus bisa mengembangkan kajian-kajian yang sesuai dengan karakter dan keingingan kader itu sendiri. Kader PMII harus bisa menguasai segala bidang keilmuan baik bidang ekonomi, agama, desain, politik, maupun yang lain, sehingga diharapkan setelah berproses di PMII kader bisa mengamalkan keilmuan sesuai dengan fakultas masing-masing.
    Ketiga, input kader PMII hakikatnya memang masih membawa mentalitas agraris. Seberapapun sudah cukup ’urban’ seorang kader PMII, dalam perilaku, mentalitas agraris masih tercermin. Misal, meskipun secara verbal setiap kader PMII menginginkan ’PMII profesional’, namun dalam laku keseharian dalam bentuk komunalisme masih menarik perhatian.
    Keempat, mahasiswa sekarang adalah generasi mahasiswa yang dilahirkan tahun-tahun tengah dekade 1980-sebentar lagi mahasiswa kelahiran tahun 1990-an. Mereka menjadi remaja ketika situasi krisis tengah berada di titik kulminasinya. Sehingga perwatakan (permukaan) mereka, tidak mungkin disamakan dengan mahasiswa kelahiran tahun 1970-an. Ini tantangan paling dekat bagi mahasiswa baru yang dituntut bisa mempunyai motif gerakan tersendiri untuk mempersiapkan  kader yang survive dan bergerak dalam kenyataan.

Menjadi Muslim yang Profesional dengan Konsep Tawazun”

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari seorang muslim melakukan banyak hal mulai dari keluarga dan kehidupan sosial, sampai profesi dan pekerjaan. Dalam menjalani kehidupannya tersebut seorang muslim harus melakukannya secara proporsional dan seimbang. Proporsional dan seimbang ini bukan berarti melakukannya dengan porsi yang sama antara satu bagian dengan bagian yang lain, melainkan sesuai dengan proporsi dan prioritas. Di sinilah konsep tawazun menjadi penting dan perlu diangkat kembali ke permukaan
Dalam Islam seorang muslim mempunyai kewajiban-kewajiban yang diembannya dalam seluruh aspek kehidupannya dan sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya. Tidak semua muslim harus berprofesi sama (misalnya, harus menjadi guru) tetapi seorang muslim bebas menjalani profesi yang sesuai dengan kecenderungan, minat, dan potensi yang dimilikinya. Namun, sesuatu yang pasti adalah setiap muslim adalah seorang dai yang mengemban amanat untuk menyebarkan, mensyiarkan, dan memberikan teladan Islam kepada orang lain, masyarakat, dan umat manusia. Dalam hal ini seorang dai bukanlah seorang dengan pakaian Islami yang menyampaikan konsep islam di mimbar-mimbar saja, melainkan seorang dengan wawasan keislaman yang terbentuk dan terintegrasi baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang setiap kata-kata dan perbuatannya bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya.
Dengan predikat sebagai dai itulah seorang muslim bergaul, berinteraksi, menyatu, dan memberikan pandangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia dengan berbagai profesi yang dia miliki. Kekuatannya adalah sejauh mana dia dapat berinteraksi dengan masyarakat, menyampaikan, dan mewarnainya dengan nilai-nilai keislaman dalam bentuk kata-kata, perbuatan, dan aksi positif tanpa terpengaruh dan terjerumus dalam gaya hidup masyarakat di mana dia berinteraksi.
Di sinilah konsep tawazun menjadi konsep yang penting yang perlu dimiliki oleh setiap muslim plus (muslim yang mengemban amanah sebagai dai). Seorang muslim perlu memperhatikan setiap aspek kehidupannya secara menyeluruh. Ini berarti baik jasmani dan rohani, keluarga, pekerjaan, masyarakat, diri sendiri, maupun orang lain perlu diperhatikan dan diperlakukan secara seimbang dan proporsional. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah seimbang antara dunia dan akhirat. Dalam surat al-qashas ayat 77 Allah berfirman untuk memperhatikan dunia dan akhirat secara seimbang.
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."
Dalam menyampaikan dakwah dan syiar Islam, seorang muslim tidak perlu menunggu sampai berdiri di atas mimbar dan di hadapan orang banyak. Bahkan perbuatan, tingkah laku, dan tutur kata yang Islami dan menyentuh hati lebih mulia dan lebih mencerminkan sikap seorang muslim sejati dibandingkan kata-kata kosong di hadapan orang banyak. Oleh karena itu, ruang kerja, warung tempat berbelanja, halte tempat menunggu bis (atau stasiun), dan setiap tempat (di bumi) di mana seorang muslim berpijak merupakan mimbar-mimbar tempat menyampaikan dakwah dan syiar Islam melalui sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami.
Seorang office boy yang menunjukkan sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami lebih mulia dibandingkan seorang manajer yang kurang disukai bawahannya karena sikapnya yang kurang baik. (Namun, tentu saja seorang manajer yang menunjukkan sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami dan tulus ikhlas tanpa pamrih jauh lebih baik).
Sikap seperti ini hanya bisa diperoleh melalui pemahaman yang baik terhadap konsep tawazun. Seorang muslim yang tawazun tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan juga menjaga sikapnya agar bermanfaat bagi orang lain. Karena berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain tidak mendapatkan balasan langsung di dunia tetapi di akhirat, maka sikap ini tentu lahir dari pemahaman yang mendalam atas konsep keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Sikap tawazun akan menjadi landasan yang kokoh bagi seorang muslim yang profesional. Setiap muslim dituntut untuk menjadi manusia-manusia yang profesional dan menjadi teladan bagi umat manusia. Apapun profesi yang dijalaninya, seorang muslim harus selalu menjalankannya secara profesional, dan sikap tawazun adalah landasan yang amat diperlukan dalam proses ini.
Seorang muslim belum dikatakan sebagai manusia yang sukses apabila kecemerlangan dan kehebatan kariernya tidak disertai dengan keharmonisan dalam hubungan keluarga dan sosial. Seorang manajer belum dikatakan sempurna dan cakap apabila tidak memiliki kemampuan berinteraksi secara sosial yang baik. Di sinilah diperlukan sikap tawazun yang menjadi landasan sikapnya secara integral.

Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan

Oleh : Ghufron
A.    Mukadimah
Agama dan politik dalam Islam Ibaratnya menimba air Zamzam di Tanah Suci, pembicaraan tentang masalah ini akan selalu aktual lebih-lebih pada perkembangan akhir-akhir ini dimana banyak gerakan islam yang menginginkan syariat islam dijadikan sebagai aturan yang berlaku di Indonesia ini tanpa melihat bahwa para ulama’ dengan para nasionalis telah membuat sebuah rumusan yang telah disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar negara yaitu Pancasila.
Hal ini diantaranya disebabkan Pertama, kekayaan sumber bahasan, sebagai buah lima belas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
Sekali pun begitu, dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah ini tetap dirasakan penting dan punya relevansi dengan perkembangan zaman. Tidak saja Dunia Islam sekarang mengenal berbagai sistem politik yang berbeda-beda, jika tidak malah bertentangan, satu sama lain. Lebih penting lagi, seperti tercermin dalam berbagai tema pembicaraan pertemuan internasional Islam, baik swasta maupun pemerintah, kaum Muslim kini semakin sadar diri tentang perlunya memberi jawaban yang benar dan konstruktif terhadap tantangan zaman mutakhir. Harapan untuk dapat melakukannya dengan baik antara lain akan tumbuh jika ada kejelasan tentang persoalan yang amat prinsipil, yaitu persoalan hubungan yang benar antara agama dan politik dalam Islam.
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib al-syari’ah (pemilik syari’ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.  Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan “duniawi” mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad s.a.w. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah—sesuai dengan perintah Allah—yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad s.a.w. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.
B.    Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah
Pembicaraan tentang agama dan politik dalam Islam tidak sepenuhnya absah tanpa pembicaraan tentang masyarakat Madinah, khususnya di masa Nabi. Ini pun bukanlah suatu pembicaraan baru, meskipun di sini akan dicoba tekankan segi-segi tertentu yang dirasa paling relevan dengan persoalan kontemporer Islam dan politik.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa’ dan Bani Qurayzhah. Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.
Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab “madinah” berarti kota.  Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu “d-y-n” (dal-ya’-nun), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu. Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup. Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.
Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound). Karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya, bahkan alam raya itu sendiri juga, yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa. Karena kepatuhan serupa itu merupakan “hukum alam” (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak. Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “din” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti. “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan. (“Agama” dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).  Kembali ke perkataan “madinah” yang digunakan Nabi s.a.w. untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga “polisi”). Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu. Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti “kebudayaan”, dan hadlarah menjadi berarti “peradaban”, sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan “hidup berpindah-pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah, alis “primitif”). Karena itu “orang kota” disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan “orang kampung” disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum “badui” Juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-‘Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama. Dalam al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan. Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.
C.    Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban
Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.  Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.
Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab’i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu, sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama. Itu sebabnya dalam al-Qur’an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur’an digambarkan sebagai permusuhan kepada Allah. Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya.  Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli, Masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.  Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil “tanpa pandang bulu” banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu “orang penting” maka dibiarkan berlalu.
Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri). Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya. Bahkan konsep tentang “hapus-menghapuskan” ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.
D.    Islam dan Politik Modern
Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara Eropa, ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Seperti halnya dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktek tentang negara hukum dari pengetahuan mereka tentang Dunia Islam. Saat akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes dan mempengaruhi Barat, yang kemudian berhasil menerobos zaman, memasuki sejarah modern.  Beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara “modernisme” dan “modernitas”. Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir ini sebagai “kebijakan final” umat manusia, perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban. jadi “modernisme”, sebagai “isme”, mendekati ketentuan tentang sebuah ideologi tertutup, sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lairi.
Sedangkan “modernitas” adalah suatu ungkapan tentang kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif dan negatif yang campur aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian, pengelolaan dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia yang tingkat peradabannya dengan zaman-zaman sebelumnya tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar.  Tetapi, tentang kesadaran moral dan rasa kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Kesadaran moral dan rasa kesucian, dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dalam beberapa hal, zaman modern sekarang menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tapi dalam beberapa hal lain justru lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang (Portugis punya peranan besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigines untuk kesenangan dan cendera mata orang-orang kaya Eropa dan pengisi museum antropologi mereka, pembersihan etnis dan genosida oleh bangsa-bangsa (“modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah supreme, amat jauh mengatasi bangsa-bangsa “modern” tersebut, biar pun dalam fase sejarah Dunia Islam yang paling rendah.  Oleh karena itu sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas itu tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cenderung merasa minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam tidak lain ialah, tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menterjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan kesarjanaan mutakhir, dari semua sistem ajaran, khususnya agama, yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya tetap relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan yang proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri. Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. 

Penulis,
Mahasiswa yang baru mencari jatidiri,
Mantan Presma INISNU Jepara


Sekilas Tentang Pengorganisasian Masyarakat (Community Organizing )

 Pengorganisasian Masyarakat (Community Organizing) adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk membangun kekuatan atau intetitas sosial poitik, sosial budaya dan sosial ekonomi pada masyarakat. dalam melakukan penuatan masrakat seorang CO berusaha semaksimal mungkin untuk melibatkan anggota masyarakat sebanyak mungkin. Dalam proses menemuka problematika merumuskan alternatif pemecahan masalah serta membangun institusi sosial yang demokratis, berdasarkan aspirasi, keinginan, kekuatan  dan potensi yang tumbuh dalam masyarakat.

Relevansi Pengorganisasian Masyarakat
    Kerja pengorganisasian masyarakat ini menjadi penting karena beberapa alasan sebagai berikut:
1.    Dalam hubungan sosial dimasyarakat akan selalu terjadi tarik ulur kepentingan antara tiga aktor yakni, Negara Modal dan Rakyat. Hubungan sosial antar ketiga aktor ini berjalan tidak seimbang dimana terjadi penumpukan kekuatan hanya pada negara dan modal sementara rakyat dikondisikan secara “apa adanya”.
2.    Pertemuan antara kepentingan negara dan modal melahirkan banyak kebijakan yang mengatur pemanfaatan fasilitas kehidupan, seperti pemanfaatan hasil hutan, pengelolaan lahan, pertambangan yang teryata hanya mengutamakan kepentingan negara dan pemilik modal saja. Sedangkan secara praksis rakyat hanya menjadi obyek dari kebijakan yang dibuat oleh kekuatan negara dan pemilik modal, baik keduanya bersatu maupun sendiri-sendiri.
3.    Pada tahap lanjut, hubungan yang tidak seimbang ini menciptakan kesenjangan sosial yang cukup jauh serta terjadi pemiskinan dan pembodohan yang dilakukan secara struktural.

Tujuan Kerja Pengorganisasian Masyarakat
Secara keseluruhan kerja pengorganisasian masyarakat ini bertujuan untuk ;
1.    Masyarakat mampu memiliki daya dan usaha untuk membangun kehidupannya sendiri.
2.    Masyarakat memiliki kemampuan dan karifan tersendiri dalam menjalankan kehidupannya secara alami.
3.    Usaha membangun masyarakat akan lebih efektif bila melibatkan secara aktif seluruh komponen masyarakat sebagai pelaku dan sekaligus sebagai penikmat pembangunan.
4.    Serta masyarakat memiliki kemampuan membagi diri sedemikian rupa dalam setiap peran pembangunan  mereka.

Prinsip-Prinsip pengorganisasian Masyarakat
1.    Membangun pertemanan atau persahabatan dengan masyarakat
2.    Bersedia belajar dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan
3.    Membangun masyarakat dengan berangkat dari apa yang mereka punya atau apa yang ada dalam komunitas masyarakat tersebut.
4.    Tidak berpretensi untuk menjadi pahlawan atau pemimpin dari komunitas yang diorganisir
5.    Serta seorang pendamping harus percaya bahwa komunitas tersebut memiliki potensi dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri hingga tuntas.

Modal Pengorganisasian Masyarakat
Ada dua modal utama dalam pengorganisasian masyarakat. Kedua model ini mendasarkan diri pada analisis karakter dan mobilitas yang dimiliki masyarakat. Model pertama, yang banyak dikembangkan oleh Paulo Freire yang menunjuk model pengorganisasian dan pengembangan pada masyarakat tradisional (pedesaan dan indogenous) yang tradisional. Sedang model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Alinsky. Model ini disesuaikan dengan karakter dan mobilitas masyarakat perkotaan yang sudah mengenal industrialisasi.

Strategi Pengorganisasian Masyarakat
Salah satu strategi yang sering digunakan dalam pengorganisasian masyarakat adalah STRATEGI PEMBELAJARAN  DIALOGIS. Dalil Strategi Pembelajaran Dialogis (SPD) adalah : “untuk mencapai penyelesaian masalah, harus dimulai dari penyadaran dan pengenalan masalah terlebih dahulu”. Adapun alur praksis dari SPD adalah sebagai berikut:



Proses Pengorganisasian Masyarakat

Selain alur diatas ada proses yang harus dilalui dalam usaha pengorganisasian masyarakat. Tahapan atau proses yang dimaksud meliputi beberapa hal sebagai berikut :

1.  Melebur dengan komunitas

·         Informasi awal

·         Membangun kontak person

·         Menjalin pertemanan

·         Memberitahu kedatangan

·         Terlibat sebagai pendengar

·         Terlibat dalam diskusi

·         Ikut bekerja

2.  Penyelidikan sosial

·         Survey

·         Analisis Sosial

·         Analisis Stakeholder



3.  Merancang kegiatan awal

·         Mengumpulkan isu

·         Musyawarah bersama

·         Identifikasi masalah dan potensi

·         Menentukan agenda bersama

4.  Implementasi kegiatan (sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah pada tahap sebelumnya) contohnya bisa berupa Dialog, Pelatihan, Negosiasi dll.

5.  Pembentukan Organisasi

6.  Monitoring dan Evaluasi

7.  Refleksi dan aksi



Conto Lembar Kasus


Petani Tebu  Hanya Dua Pilihan

Jika krisis gula tidak segera tertangani, petani tebu di desa Selokuro hanya dua pilihan. Mereka akan membongkar kebun tebu dan mengganti dengan tanaman lain yang belum tentu hasilnya atau petani harus membiarkan tanaman tebu yang ada tanpa perawatan sehingga hasilnya sangat minim. Apabila langkah itu dilakukan maka pasokan tebu kepabrik gula bisa anjlok akibatnya produksi  gula bisa susut.

Memang sejak beberapa tahun terakhir harga tebu semakin anjol akibatnya para petani tebu –termasuk petani desa Selokuro - selalu menelan kerugian pada setiap kali masa panen. Rendahnya harga tebu ini disebabkan oleh anjloknya harga gula dipasaran  yang berakibat gula yang diprduksi pabrik gula di Jawa tidak bisa terjual. Berdasarkan perhitungan tahun ini jumlah kerugian  seluruhnya di Jawa Timur mencapai Rp.861,8 Milyar yang terdiri dari Rp. 582,8 milyar milik petani dan Rp.279 milik pabrik gula. Perhitungan ini dengan asumsi jumlah gula petani  900.000 ton dengan harga Rp.2.635 dan harga pokok Rp.3.100.

            Menurut Direktur Pemasaran PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X Irwan Basri mengatakan, anjloknya harga gula pasir hingga kisaran Rp. 2.600 s/d Rp.2.650 per kg lebih disebabkan posisi tawar petani sangat rendah. Apalagi jika petani menjual secara sendiri-sendiri atau individual, akan ada kesempatan bagi para pedagang untuk menekan dengan mudah. Menurutnya, sejak musim panen raya tebu beberapa bulan lalu, pihaknya baru menyelenggarakan lelang gula bersama petani dari 11 pabrik gula diwilayahnya baru 2 kali. (Kompas,10/9/02).  

            Masalah rendahnya harga gula dipasaran selain disebabkan oleh engganya petani melakukan lelang bersama, juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk melakukan impor gula. Harga gula impor lebih murah bila dibanding dengan produksi pabrik dalam negeri serta kwalitasnya juga lebih bemutu. Selain itu harga gula dipasaran dunia yang juga merosot membuat pasokan gula semakin membanjir.
            Akibat dari kerugian yang dialami secara terus-menerus itu, petani tebu Selokura masih dilanda kebingungan, tidak tahu haru berbuat apa. Untuk menanam selain tebu jelas tidak mungkin, selain sudah sekian lama mereka melakukan kegiatan tanam tebu, juga tanaman jenis lain (padi atau polowijo) belum bisa memberi jaminan karena kondisi tanah  yang mungkin tidak sesuai



MENDAMBA PEMIMPIN YANG SEJATI

Jika dulu, para sahabat Radhiyallahu 'Anhu sangat takut untuk dipilih menjadi seorang pemimpin, maka sekarang, ada banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Semua mengaku terbaik! Benar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Al-Bukhari). Memilih pemimpin bukanlah perkara sepele, sebab kandidat yang terpilih itulah yang akan membawa label pemimpin rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib jutaan jiwa umat. Suka tidak suka, kandidat yang terpilih itulah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah di negeri ini. Meskipun torehan itu masih tanda tanya besar, apakah akan menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi. Mampukah ia menjadi pemimpin sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat. Pemimpin merupakan lambang kekuatan, keutuhan, kedisiplinan dan persatuan. Namun harus kita sadari juga bahwa pemimpin bukanlah hanya sekadar lambang. Karena itu, ia memerlukan kompetensi, kelayakan dan aktivitas yang prima untuk memimpin bawahannya. Melihat esensi kepemimpinan, sebagai seorang Muslim, tentu tidak bisa sembarangan dalam memilih pemimpin. Jangan sampai perilaku “memilih kucing dalam karung” menghantui kita.
PERAN SEORANG PEMIMPIN
Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin: 1. Pelayan (khadim) Pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya. 2. Pemandu (muwajjih) Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam
KARAKTERISTIK PEMIMPIN DALAM ISLAM
Perlu disadari, dalam memilih pemimpin ada tanggung jawab yang akan dipikul di hadapan Allah terhadap pilihan kita. Di sinilah pentingnya seorang pemilih mengenal calon pemimpinnya. Agar bisa mengetahui kesesuaiannya dengan karakter pemimpin ideal yang diatur oleh Islam. Kalau ternyata sesuai, maka jangan sungkan memberikan suara. di antara karakteristik pemimpin dalam islam, yaitu:
1.    Jujur Pemimpin Islam haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan pengikutnya. Seorang pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik. Pemimpin yang perkataan dengan perbuatannya senantiasa sejalan.
2.    Kompeten Kompotensi dalam bidangnya mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam. Orang akan mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini bahwa orang yang diikutinya benar-benar tahu apa yang sedang diperbuatnya.
3.     Inspiratif Seorang pengikut akan merasakan 'aman' jika pemimpinnya membawanya pada rasa nyaman dan menimbulkan rasa optimis seburuk apa pun situasi yang sedang dihadapi.
4.    Sabar Pemimpin Islam haruslah sabar dalam menghadapi segala macam persoalan dan keterbatasan, serta tidak bertindak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
5.    Rendah hati Seorang pemimpin Islam hendaklah memiliki sikap rendah hati. Tidak suka menampakkan kelebihannya (riya) serta tidak merendahkan orang lain.
6. Musyawarah Dalam menghadapi setiap persoalan, seorang pemimpin Islam haruslah menempuh jalan musyawarah serta tidak menentukan keputusan sendiri. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di—rahimahullah—mengatakan, "Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya—padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling banyak idenya, "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS. Ali Imran: 159). Maka bagaimana dengan yang selain beliau?"
6.     Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik akan mereka yang dipimpinnya, pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya bukanlah sekadar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya. Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.
RAHASIA KEKUATAN PEMIMPIN
1.    Kekuatan iman, ilmu, dan wawasan yang luas Seluruh nabi dan rasul memimpin dengan kekuatan iman dan ilmu. Nabi Sulaiman Alaihissalam memerintah hampir seluruh makhluk (seperti jin, binatang, angin) dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Dengan ilmu dan iman seorang pemimpin sanggup memimpin dirinya (seperti memimpin matanya, hatinya, lidahnya, pikiran dan hawa nafsunya) sebelum memimpin orang lain.
2.    Ibadah dan taqarrub kepada Allah. Ibadah dan banyak bertaqarrub kepada Allah, dapat melahirkan kewibaan, ketawadhuan, kesabaran, optimisme, dan tawakkal. Ibadah dan taqarrub juga akan melahirkan kekuatan ruhaniyah yang dahsyat.
3.  Keteladanan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengajak jihad, beliau bertempur paling depan, bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallammenyuruh bertahajud, beliaulah yang kakinya bengkak karena banyak bertahajjud. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menghimbau umatnya untuk berhias dengan akhlak mulia, beliaulah manusia yang paling mulia akhlaknya.
KARAKTERISTIK PENGIKUT DALAM ISLAM
1.    Taat Seorang pengikut harus patuh kepada pemimpin. Setelah pemimpin dipilih lewat jalan musyawarah maka wajib bagi pengikutnya (yang menang dan yang kalah untuk taat kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan membuat kerusakan).
2.    Dinamis dan kritis Seorang pengikut harus dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan seseorang. Islam tidak mengajarkan suatu ketundukan buta atau sekadar ikut-ikutan. Bagi pemimpin dan calon pemimpin masa depan, amanah yang Anda emban bukanlah suatu kemegahan dan kebanggaan. Bahkan demi mengingat beratnya beban amanah, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan sebuah ungkapan, "Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula mendapat pahala." Maka jadikanlah janji Allah memasukan pemimpin yang adil dalam surga-Nya sebagai sumber energi hidup Anda. Dan bagi yang akan memberikan pilihan dan selanjutnya akan dipimpin, marilah kita sadari bahwa kesempatan kita hanya sekali untuk melakukan pilihan dengan tepat. Setelah itu, kemampuan kita dalam menentukan arah kepemimpinan tidak sekuat di saat kita memilih. Setidaknya, kita telah berusaha melakukannya. Dan yang pasti, pilihan kita akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala. Karena itu, akan senantiasa dibutuhkan seorang Muslim yang mampu menentukan pilihannya secara cerdas dan tepat.

MAHASISWA
















Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928

Rabu, 02 November 2016 18:03 Nasional Sumpah Pemuda, Sejumlah OKP Lahirkan Deklarasi Kembali ke Khittah 1928 Jakarta, NU Online Sejumlah...